Pemberlakuan CBAM Uni Eropa Tahun 2026: Tantangan Baru Bagi Industri Manufaktur Indonesia
Uni Eropa berencana menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) secara penuh pada seluruh sektor industri mulai Januari 2026. Kebijakan ini berpotensi membawa dampak signifikan bagi industri manufaktur Indonesia, khususnya sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
CBAM, sederhananya, adalah mekanisme penyesuaian karbon lintas batas. Uni Eropa akan mengenakan tarif atau bahkan melarang impor produk dari negara-negara yang standar produksinya tidak memenuhi persyaratan keberlanjutan lingkungan yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong dekarbonisasi industri di seluruh dunia dan mencegah carbon leakage, yaitu perpindahan emisi karbon ke negara-negara dengan regulasi lingkungan yang lebih longgar.
Direktur Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Dewi Muliana, mengungkapkan bahwa industri manufaktur seperti baja, aluminium, semen, dan pupuk akan menjadi sektor yang paling rentan terhadap dampak CBAM. Salah satu tantangan utama adalah kewajiban bagi eksportir untuk mengukur dan melaporkan jejak karbon (carbon footprint) dari produk mereka. Proses ini memerlukan sistem pelacakan emisi yang saat ini belum sepenuhnya terintegrasi dan terstandardisasi di Indonesia.
Biaya tambahan yang timbul akibat CBAM juga berpotensi menggerus daya saing produk Indonesia di pasar Eropa. Estimasi biaya CBAM untuk produk aluminium mencapai 20.692 dollar AS, besi dan baja sekitar 319.825 dollar AS, dan pupuk sebesar 724 dollar AS. Jika biaya karbon menjadi terlalu tinggi, produk Indonesia dapat kalah bersaing dengan produk dari negara-negara yang memiliki sistem karbon yang lebih efisien dan mendapatkan keringanan.
Pemerintah Indonesia menyadari potensi dampak negatif CBAM dan telah mengambil langkah-langkah antisipatif. Salah satunya adalah pembentukan Task Force Nasional Perdagangan Hijau. Gugus tugas ini melibatkan kolaborasi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tujuan utama dari Task Force ini adalah menyusun strategi nasional yang komprehensif untuk menghadapi CBAM dan kebijakan serupa di masa depan.
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Pengukuran dan pelaporan jejak karbon: Industri perlu segera berinvestasi dalam sistem pelacakan emisi yang akurat dan terverifikasi.
- Efisiensi energi dan dekarbonisasi: Upaya untuk mengurangi emisi karbon dalam proses produksi harus menjadi prioritas.
- Negosiasi dengan Uni Eropa: Pemerintah perlu aktif bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan mempertimbangkan kondisi spesifik Indonesia.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat meminimalisir dampak negatif CBAM dan bahkan mengubahnya menjadi peluang untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan.