Uji Materi UU TNI di MK: Advokat dan Mahasiswa Pertanyakan Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif
Sejumlah advokat dan mahasiswa yang tergabung dalam sebuah kelompok, melayangkan gugatan terhadap Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berpendapat, aturan yang memungkinkan prajurit TNI menduduki jabatan sipil tertentu tanpa harus mengundurkan diri, bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Gugatan ini diajukan dalam sidang panel yang digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Jumat (9/5/2025). Para pemohon berargumentasi bahwa Pasal 47 ayat (2) UU TNI melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan menciptakan ketidakpastian hukum. Mereka menyoroti adanya potensi interpretasi yang berbeda-beda dalam implementasi pasal tersebut, sehingga mencederai prinsip konsistensi, koherensi, harmonisasi, sinkronisasi, dan responsibilitas dalam pembentukan norma hukum.
Para pemohon berpendapat bahwa pasal tersebut membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, yang dapat mengangkat prajurit TNI ke jabatan-jabatan strategis demi kepentingan pribadi, tanpa mengindahkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang menjadi semangat Reformasi 1998.
Dalam UU TNI yang berlaku saat ini, Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga negara. Sementara itu, Pasal 47 ayat (2) mengatur bahwa prajurit TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan jika ingin menduduki jabatan di luar 14 kementerian dan lembaga tersebut.
Berikut kutipan lengkap Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI:
- (1) Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelolaperbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
- (2) Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Para pemohon berpendapat bahwa kedua ayat tersebut menimbulkan kontradiksi dan menghidupkan kembali dwifungsi militer. Mereka juga menilai bahwa pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI tanpa pengunduran diri atau pensiun dapat mengancam prinsip checks and balances yang merupakan elemen penting dalam negara hukum. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa Pasal 47 ayat (2) UU TNI berpotensi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menekankan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan, dan supremasi sipil.
Para pemohon juga menyoroti potensi masalah hukum yang dapat timbul jika prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil tersandung kasus pidana atau administrasi. Mereka mempertanyakan hukum acara mana yang akan berlaku dalam situasi tersebut, apakah hukum acara peradilan militer atau hukum acara sipil. Ketidakjelasan ini, menurut mereka, menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan seluruh permohonan mereka dan mengubah frasa dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Mereka mengusulkan agar pasal tersebut dimaknai bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan di kementerian/lembaga yang telah ditentukan atau jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi celah bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar yang telah ditentukan.