Kenaikan Royalti Minerba: Momentum Percepatan Transisi Energi Nasional
Pemerintah baru-baru ini menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/2025 dan PP Nomor 19/2025. Kebijakan ini memicu diskusi mengenai pemanfaatan optimal dari peningkatan pendapatan negara yang dihasilkan. Al Ayubi, seorang Policy Strategist dari CERAH, berpendapat bahwa kenaikan royalti ini seharusnya menjadi katalisator untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Ayubi menekankan bahwa dana tambahan yang diperoleh dari kenaikan royalti minerba tidak boleh hanya dilihat sebagai peningkatan pendapatan fiskal semata. Sebaliknya, dana tersebut harus dialokasikan secara strategis untuk mendukung pengembangan sektor energi hijau. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk pemberian subsidi untuk energi terbarukan dan insentif bagi investasi yang ramah lingkungan.
Urgensi pengalokasian dana ini semakin terasa mengingat target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 belum tercapai. Pemerintah baru mengalokasikan sekitar Rp34,2 triliun per tahun untuk energi terbarukan, angka ini masih jauh di bawah kebutuhan riil yang mencapai Rp148,3 triliun per tahun.
Data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa investasi swasta di sektor energi masih didominasi oleh energi fosil. Pada periode 2019–2021, porsi investasi energi fosil mencapai 73,4 persen, sementara energi terbarukan hanya mendapat 26,6 persen. Kesenjangan pendanaan ini menjadi hambatan signifikan bagi upaya transisi energi di Indonesia.
Aryanto dari CERAH menambahkan, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan. Ia juga menyoroti pentingnya penggunaan dana ini untuk mengurangi produksi batu bara dan menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), baik yang terhubung ke jaringan listrik PT PLN (Persero) maupun yang dibangun khusus untuk kebutuhan industri.
Aryanto juga menyoroti bahwa RPJMN 2025–2029 masih menargetkan produksi batu bara sebesar 700 juta ton per tahun. Angka ini jauh melampaui batas aman yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yaitu 400 juta ton.
Kenaikan royalti seharusnya menjadi instrumen korektif dalam tata kelola sektor energi. Dengan demikian, manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama yang terdampak langsung oleh industri ekstraktif. Pemerintah diharapkan tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi lain yang tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan.
Sebagai informasi tambahan, kebijakan terbaru pemerintah menerapkan tarif royalti progresif untuk mineral seperti nikel. Tarif royalti nikel yang sebelumnya tunggal sebesar 10 persen, kini menjadi 14–19 persen, disesuaikan dengan Harga Mineral Acuan (HMA). Sementara itu, untuk batu bara, penyesuaian dilakukan berdasarkan jenis izin. Royalti untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik, sedangkan untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) justru turun.
Berikut Rinciannya:
- Royalti Nikel: Dari 10% menjadi 14-19% (Tergantung HMA)
- Royalti Batu Bara:
- IUP: Naik
- PKP2B/IUPK: Turun