Ekonom Soroti Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Bawah Target, Mendesak Intervensi Pemerintah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sorotan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka di bawah ekspektasi pada kuartal I tahun 2025. Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87%, berada di bawah angka 5% dan lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11%. Kondisi ini diperburuk dengan data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 24.036 kasus sepanjang Januari hingga April 2025.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa pertumbuhan di bawah 5% merupakan sinyal kurang baik, terutama jika dikaitkan dengan target ambisius pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 8% pada tahun 2029 dan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan GDP per kapita US$ 14.000 pada tahun 2045. Ia mempertanyakan realisme target-target tersebut dengan kondisi ekonomi saat ini.
Samirin menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi berpotensi meningkatkan angka pengangguran, yang pada gilirannya dapat menurunkan penerimaan pajak negara dan meningkatkan kebutuhan akan program sosial. Ia merekomendasikan pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mengalokasikan sumber daya dari program-program besar yang dianggap kurang efisien, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif dalam bentuk kebijakan dan pinjaman modal kerja dengan bunga yang terjangkau, khususnya untuk sektor manufaktur. Utilisasi sektor manufaktur saat ini masih rendah, yaitu sekitar 60%, jauh di bawah angka sebelum krisis yang mencapai 75%. Peningkatan utilisasi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Wijayanto juga menekankan pentingnya pemberantasan praktik premanisme, penyelundupan, dan deregulasi untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Langkah-langkah ini akan mencegah para pengusaha menarik modal mereka dan membuka peluang bagi investasi baru. Relaksasi kebijakan efisiensi juga dianggap perlu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Senada dengan Wijayanto, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti penurunan pendapatan pekerja sebagai faktor utama perlambatan ekonomi. Minimnya lapangan kerja formal memaksa masyarakat untuk beralih ke sektor informal, yang berdampak pada penurunan pendapatan dan ketidakpastian ekonomi. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang menjadi lebih berhati-hati.