Sorotan Hakim Konstitusi Warnai Rekor Gugatan UU TNI di MK

Sidang Gugatan UU TNI: Catatan Kritis Hakim Konstitusi dan Rekor Permohonan

Sidang pengujian Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan, tidak hanya karena substansi gugatan, tetapi juga karena rekor jumlah permohonan yang diajukan. Sebanyak 14 gugatan terkait UU TNI diajukan ke MK, sebuah angka yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah lembaga tersebut. Sidang perdana telah digelar pada Jumat (9/5) lalu, dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, yang juga menyampaikan beberapa catatan penting terkait proses dan materi gugatan.

Rekor Gugatan dan Imbauan untuk Kekompakan

Saldi Isra mengungkapkan bahwa sebagian besar dari 14 gugatan tersebut berfokus pada uji formil UU TNI. Hal ini menarik perhatian karena untuk pertama kalinya dalam sejarah MK, isu yang sama disidangkan secara serentak dalam tiga panel berbeda. Menanggapi tingginya antusiasme dalam mengajukan permohonan, Saldi Isra mengusulkan agar para mahasiswa yang mengajukan gugatan untuk menggabungkan permohonan mereka. Menurutnya, hal ini akan mencerminkan kekompakan mahasiswa dalam menyikapi isu tersebut dan memperkuat argumentasi yang diajukan. Ia menyarankan agar mahasiswa dari berbagai universitas saling melengkapi dalil, bukti, dan argumentasi, sehingga substansi yang diperjuangkan menjadi lebih kuat.

Sorotan Terhadap Kedudukan Hukum Pemohon

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyoroti pentingnya kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam gugatan. Ia menekankan bahwa pemohon harus mampu menjelaskan secara rinci kerugian konstitusional yang dialami akibat pengesahan UU TNI. Ridwan Mansyur menilai bahwa penjelasan para pemohon dalam sidang belum cukup meyakinkan terkait kerugian konstitusional yang dimaksud. Ia meminta pemohon untuk mengkontestasikan norma atau pasal yang diuji dengan UUD 1945, serta menguraikan secara detail mengapa norma tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Selain itu, Ridwan Mansyur juga mengingatkan pemohon untuk menjelaskan secara rinci asas keterbukaan yang dilanggar oleh pemerintah dan DPR dalam proses pembentukan UU TNI. Ia meminta pemohon untuk melampirkan bukti-bukti yang mendukung pernyataan tersebut, serta menghindari penggunaan emosi dalam menyusun gugatan. Ia menekankan pentingnya penyusunan permohonan yang benar dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat agar dapat meyakinkan Mahkamah.

Urgensi Memperhatikan Putusan MK Sebelumnya

Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan para pemohon untuk mempelajari putusan-putusan MK sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan uji formil. Ia mencontohkan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Arsul Sani menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut, tidak semua pemohon diberikan legal standing oleh Mahkamah. Ia menekankan bahwa Mahkamah akan mempertimbangkan secara cermat apakah pemohon memiliki kepentingan yang relevan dan dirugikan secara langsung oleh undang-undang yang diuji.

Arsul Sani juga menyoroti pentingnya partisipasi aktif pemohon dalam proses pembentukan undang-undang. Ia mempertanyakan apakah mahasiswa yang mengajukan gugatan telah berupaya untuk menyampaikan pendapat atau usulan kepada DPR selama proses pembahasan UU TNI. Ia menekankan bahwa pemohon harus dapat meyakinkan MK bahwa mereka memiliki concern yang nyata terhadap isu yang dipermasalahkan dan bukan hanya ikut-ikutan mengajukan gugatan demi popularitas.