Paus Leo XIV dan Asa Baru Bagi Perdamaian di Tanah Papua: Kenangan Kunjungan Dua Dekade Lalu

Dunia Katolik dikejutkan dengan terpilihnya Kardinal Robert Prevost sebagai Paus Leo XIV. Bagi sebagian masyarakat Papua, terpilihnya figur yang pernah menyambangi tanah mereka dua dekade silam ini, membangkitkan harapan akan angin segar perdamaian di tengah konflik yang berkepanjangan.

Robert Prevost, sebelum menduduki kursi kepausan, bukanlah nama yang asing bagi beberapa warga asli Papua. Pada tahun 2003, ia mengunjungi tiga wilayah di Papua, bahkan menginap di perkampungan terpencil yang hanya dapat dijangkau dengan pesawat kecil. Selama kunjungannya, ia bermalam di gereja-gereja sederhana di Kabupaten Sorong, Maybrat, dan Tambraw. Kesederhanaan dan kerendahan hati Prevost menjadi kesan mendalam bagi mereka yang berinteraksi dengannya kala itu.

Pastor Abuna Markus Mala, yang turut mendampingi Prevost saat menjabat sebagai pimpinan tertinggi Ordo Santo Agustinus (OSA), mengungkapkan kekagumannya akan keramahan dan kesederhanaan Prevost. Kunjungan tersebut bertepatan dengan peringatan 50 tahun kehadiran OSA di Papua. Pastor Markus mengenang ceramah Prevost di SMA Agustinus, Sorong, yang membahas kehidupan Gereja, pandangan politik Agustinus, kehidupan religius, dan pentingnya dialog.

Ingatan mendalam Pastor Markus adalah saat dirinya, yang masih berstatus novis, dapat duduk semeja dengan Prevost, pimpinan tertinggi ordo. Hal ini mencerminkan kerendahan hati Prevost yang tidak memandang status dalam berinteraksi. Setelah kunjungan di Sorong, Prevost melanjutkan perjalanannya ke kampung-kampung di Maybrat dan Tambraw dengan pesawat kecil, menginap di pastoran sederhana di Desa Ayawasi dan Senopi.

Pastor Floridus Angelus Nadja, yang tidak ikut dalam kunjungan Prevost di Sorong pada 2003, mengaku sering bertemu dan berbincang dengan Paus Leo XIV saat menempuh pendidikan di Roma, Italia. Ia terkejut saat mengetahui bahwa sosok yang dikenalnya menjadi Paus. Menurut Pastor Nadja, Prevost sangat mengagumi Indonesia dan terkesan dengan keramahan masyarakatnya. Saat berkunjung ke Papua, Prevost juga terpukau dengan hutan rimba dan kekayaan alamnya, namun prihatin dengan kondisi masyarakat pedalaman yang masih tertinggal.

Prevost dinilai berperan dalam membuka daerah isolasi di pedalaman Papua, membuka akses pendidikan, dan memberikan beasiswa kepada anak-anak Papua untuk bersekolah di kota. Langkah ini masih terus berlanjut di bawah naungan OSA. Pastor Stevanus Alo, Kepala Sekolah SMAS Katolik Villanova Manokwari, berharap Paus Leo XIV dapat kembali mengunjungi Papua untuk membangun persaudaraan dan menerjemahkan Injil dalam konteks Papua saat ini.

Dalam pidato perdananya di Vatikan, Paus Leo XIV menyerukan persatuan dalam membangun Gereja yang misioner, membangun jembatan, berdialog, dan terbuka bagi semua. Ia menekankan pentingnya Gereja Sinodal yang berjalan bersama, mencari perdamaian, kasih, dan kedekatan, terutama bagi mereka yang menderita. Seruan ini disambut dengan harapan oleh Pastor Nadja, yang berharap dapat mengurangi kekerasan di Papua.

Pastor Markus memaknai pernyataan Paus Leo XIV sebagai angin segar bagi Papua, dengan harapan Gereja dapat menjadi jembatan dialog perdamaian. Ia berharap adanya titik terang dalam penyelesaian masalah di Papua, termasuk pelanggaran HAM, serta terwujudnya dialog antara Jakarta dan Papua.

Para tokoh agama meyakini bahwa Paus Leo XIV memiliki pengalaman luas tentang kondisi masyarakat terpinggirkan di berbagai belahan dunia. Pengalamannya sebagai misionaris di Peru sejak pertengahan 1980-an membuatnya memberikan perhatian khusus pada kaum terpinggirkan dan migran. Di Papua, dengan mayoritas penduduk beragama Kristen dan Katolik, Gereja memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat.

Namun, konflik dan kekerasan terus menghantui Papua. Pada tahun 2024, Komnas HAM mencatat 113 peristiwa terkait HAM di Papua, sebagian besar terkait konflik bersenjata. Konflik ini berdampak besar pada warga sipil, termasuk korban jiwa, luka-luka, dan pengungsi internal. Baru-baru ini, terjadi pembunuhan 17 pendulang emas ilegal oleh kelompok milisi pro-kemerdekaan Papua, serta serangan terhadap guru dan tenaga kesehatan oleh TPNPB OPM.

Para aktivis, tokoh Gereja, dan akademisi terus menyerukan dialog antara Jakarta dan Papua sebagai upaya mengakhiri konflik. Namun, pemerintah dan kelompok pro-kemerdekaan Papua belum menemukan titik temu. Sejumlah umat Kristen di Papua melakukan aksi 'Jalan Salib' sebagai bentuk keprihatinan atas konflik di Papua, namun aksi tersebut mendapat penolakan dari aparat kepolisian.

Jeeno Alfred Dogomo, yang ikut dalam aksi Jalan Salib, berharap terpilihnya Kardinal Robert Prevost sebagai Paus akan membawa dampak positif bagi Papua. Ia meyakini bahwa Paus Leo XIV, dengan pengalamannya di Papua dan perhatiannya terhadap masalah kemanusiaan, lingkungan, dan rasisme, akan berbicara tentang masalah yang semakin masif terjadi di Papua.

Koordinator Front Pemuda Mahasiswa Katolik Papua mengartikan terpilihnya Robert Prevost sebagai tonggak bagi Gereja Katolik untuk berpihak kepada masyarakat kecil. Namun, ia menyayangkan adanya petinggi Gereja yang justru terlibat dalam perusakan alam, seperti deforestasi di Merauke dan penggusuran di Nusa Tenggara Timur.

Emiliana Ugahiwag Gebze, Ketua Forum Perempuan Penjaga Hutan Merauke, menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke karena khawatir akan merusak hutan dan berdampak pada lingkungan. Ia berharap Paus Leo XIV dapat membawa perubahan terhadap Gereja agar memahami keberadaan masyarakat adat yang telah turun-temurun tinggal di tempat tersebut.

Jeeno menambahkan bahwa Paus Leo XIV, sebagai pemimpin Gereja Katolik dan simbol perdamaian, diharapkan dapat memberikan tekanan dan imbauan terkait masalah-masalah tersebut.