Mahkamah Konstitusi Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Banjarbaru, Empat Komisioner KPU Dipecat

Mahkamah Konstitusi Perintahkan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Banjarbaru, Empat Komisioner KPU Dipecat

Pilkada Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menyisakan polemik panjang pasca penetapan hasil pemilu yang kontroversial. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) setelah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan terkait anomali perolehan suara. Keputusan ini diambil menyusul ditemukannya ketidakberesan dalam proses pemilihan yang mengakibatkan pasangan calon nomor urut 1, Erna Lisa Halaby-Wartono, dinyatakan menang dengan 100% suara sah, sementara suara tidak sah mencapai angka signifikan yaitu 78.736 suara. Kejanggalan ini muncul akibat surat suara yang masih memuat gambar pasangan calon nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, yang telah didiskualifikasi sebelum hari pemungutan suara. MK menilai, tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru tersebut telah melanggar mekanisme pemilihan dan mengabaikan hak konstitusional pemilih.

Proses diskualifikasi Aditya-Said sendiri berawal dari laporan rivalnya, Wartono (pasangan calon nomor urut 1), yang menuduh Aditya melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun KPU Banjarbaru membatalkan pencalonan Aditya-Said pada 31 Oktober 2024, pencetakan ulang surat suara dianggap tidak memungkinkan karena mendekati hari H pemungutan suara. Akibatnya, Pilkada Banjarbaru hanya diikuti satu pasangan calon, dengan hasil yang dinilai MK sebagai anomali dan bertentangan dengan UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. MK memerintahkan PSU dengan mekanisme pasangan calon nomor urut 1 melawan kotak kosong, yang harus dilaksanakan dalam waktu 60 hari sejak putusan dibacakan. Ketegasan MK ini menandai babak baru dalam proses hukum Pilkada Banjarbaru yang telah menimbulkan kontroversi dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.

Sebagai buntut dari permasalahan ini, empat komisioner KPU Banjarbaru dijatuhi sanksi pemecatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sanksi ini dijatuhkan atas dugaan pelanggaran etik terkait putusan MK yang memerintahkan PSU. Ketua DKPP, Heddy Lugito, membacakan putusan tersebut pada 1 Maret 2025, menyatakan bahwa Dahtiar (Ketua KPU Banjarbaru), Resty Fatma Sari, Normadina, dan Hereyanto diberhentikan secara tetap. Satu komisioner lainnya, Haris Fadhillah, hanya mendapatkan peringatan keras. KPU RI menyatakan akan menugaskan KPU Kalimantan Selatan untuk menggantikan KPU Banjarbaru dan memastikan PSU tetap berjalan sesuai jadwal. Sikap tegas ini mendapat dukungan dari Komisi II DPR RI yang menekankan pentingnya evaluasi kinerja KPU daerah dan pencegahan terulangnya kesalahan serupa.

Gugatan terhadap hasil Pilkada Banjarbaru diajukan oleh beberapa pihak, termasuk Muhamad Arifin (Koordinator Lembaga Studi Visi Nusantara Kalimantan Selatan), Udiansyah dan Abd Karim, Hamdan Eko Benyamine, Hudan Nur, Zepi Al Ayubi dan Sandi Firly, serta Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah sendiri. Namun, hanya gugatan Muhamad Arifin yang diterima dan diproses hingga putusan MK untuk PSU. Perkara ini juga menyeret nama partai politik pengusung masing-masing paslon, menunjukkan betapa kompleks dan berlapisnya masalah Pilkada Banjarbaru yang berujung pada pemungutan suara ulang dan sanksi pemecatan bagi beberapa komisioner KPU.

Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi penyelenggara pemilu untuk lebih teliti dan profesional dalam menjalankan tugasnya, agar peristiwa serupa tidak terulang kembali dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi tetap terjaga. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis.