Jeratan UU ITE: Mahasiswi ITB Ditangkap Akibat Meme Satire Jokowi-Prabowo

Kebebasan Berekspresi Kembali Terancam: Penangkapan Mahasiswi ITB Picu Kontroversi

Penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) baru-baru ini telah memicu gelombang kritik dan kekhawatiran terkait kebebasan berekspresi di Indonesia. Mahasiswi tersebut ditangkap karena mengunggah meme hasil rekayasa Artificial Intelligence (AI) yang menampilkan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meme tersebut, yang menampilkan gambar keduanya dalam pose yang dianggap kontroversial, dengan cepat menyebar di media sosial dan menarik perhatian aparat penegak hukum.

Kasus ini menjadi sorotan karena penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dasar penangkapan. Pasal-pasal dalam UU ITE, yang seringkali multitafsir, kembali digunakan untuk menjerat warga negara yang dianggap menyebarkan informasi yang melanggar kesusilaan atau mencemarkan nama baik. Padahal, dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, ekspresi politik, termasuk satire dan meme yang bertujuan mengkritik atau menyindir penguasa, seharusnya dilindungi sebagai bagian dari kebebasan sipil.

Berikut ini beberapa poin penting terkait kasus ini:

  • Dasar Hukum: Penangkapan didasarkan pada pasal-pasal UU ITE yang dianggap karet dan multitafsir.
  • Objek Penangkapan: Meme satire yang menampilkan Presiden Jokowi dan Prabowo.
  • Reaksi Publik: Penangkapan memicu kecaman dan kekhawatiran terkait kebebasan berekspresi.
  • Putusan MK: Mahkamah Konstitusi telah mempertegas bahwa kritik terhadap pejabat publik bukanlah pelanggaran hukum.

UU ITE Kembali Jadi Sorotan

Kasus mahasiswi ITB ini menambah daftar panjang kasus serupa yang melibatkan penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik dan ekspresi yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan penguasa. Amnesty International Indonesia mencatat ratusan kasus pelanggaran kebebasan berekspresi yang dikriminalisasi melalui UU ITE dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan proporsionalitas penerapan UU ITE, serta dampaknya terhadap iklim demokrasi di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya telah memberikan angin segar dengan mempersempit tafsir pasal-pasal karet dalam UU ITE. MK telah memutuskan bahwa lembaga publik tidak bisa merasa terhina dan melaporkan warganya atas dasar pencemaran nama baik. Kritik terhadap pejabat, menurut MK, bukanlah pelanggaran hukum. Namun, putusan MK ini tampaknya belum sepenuhnya diimplementasikan oleh aparat penegak hukum di lapangan. Penangkapan mahasiswi ITB ini menjadi bukti bahwa logika pretorian masih kuat mencengkeram aparat, mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya pemahaman yang benar tentang hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD NRI 1945 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pembatasan terhadap hak ini hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat sah, diperlukan, dan proporsional, sesuai dengan standar internasional yang dikenal sebagai three-part test.

Dalam kasus meme Jokowi-Prabowo, tidak ada bukti bahwa unggahan tersebut menyebabkan kerusuhan publik, menyebarkan ujaran kebencian, atau melanggar kesusilaan secara objektif. Oleh karena itu, penangkapan terhadap mahasiswi ITB tersebut dinilai melanggar prinsip legalitas dan proporsionalitas dalam hukum HAM.

Tindakan represif terhadap ekspresi digital ini mencerminkan penyalahgunaan hukum untuk membungkam suara yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Jika konten satire, parodi, atau kritik harus berujung pada proses pidana, maka ruang demokrasi akan menyempit oleh ketakutan. Ketidaksopanan atau rasa tidak nyaman tidak bisa dijadikan dasar pemidanaan. Dalam negara hukum yang demokratis, hukum semestinya melindungi kebebasan warga, bukan menjadi alat balas dendam simbolik. Ketika ekspresi damai diseret ke jalur pidana, maka yang dilanggar bukan hanya hak sipil, tetapi juga nyawa dari demokrasi itu sendiri.

Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pemerintah harus memastikan bahwa UU ITE tidak digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat, tetapi sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak warga negara di ruang digital.