Candi Mendut: Saksi Bisu Sejarah Buddha dan Pusat Perayaan Waisak Nasional
Candi Mendut, sebuah situs bersejarah yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bukan hanya menjadi tujuan wisata yang mempesona, tetapi juga menjadi pusat penting dalam perayaan Waisak Nasional. Selain Candi Borobudur, kemegahan Candi Mendut turut menjadi lokasi sakral bagi umat Buddha, terutama dalam prosesi Pensakralan Api Dharma yang diambil dari Mrapen dan Air Suci dari Umbul Jumprit.
Terletak hanya sekitar tiga kilometer dari Candi Borobudur, Candi Mendut menawarkan perjalanan mendalam ke dalam warisan keagamaan dan budaya Buddha. Nama "Mendut" sendiri diambil dari nama desa tempat candi ini berdiri, Desa Mendut, Kecamatan Mungkid. Candi ini merupakan mahakarya Dinasti Syailendra, sebuah dinasti yang berjasa besar dalam penyebaran ajaran Buddha di tanah Jawa.
Menurut JG de Casparis, seorang arkeolog Belanda terkemuka, Candi Mendut diperkirakan dibangun pada tahun 824 Masehi oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Informasi ini diperkuat oleh Prasasti Karangtengah yang bertanggal sama, yang menyebutkan pembangunan sebuah bangunan suci bernama çrimad venuvana, yang berarti "bangunan suci di hutan bambu". Penamaan ini mengindikasikan keterkaitan erat Candi Mendut dengan praktik keagamaan dan ajaran Buddha pada masa itu.
Sejarah Candi Mendut mencatat periode kemunduran seiring dengan keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno dan dampak erupsi Gunung Merapi yang dahsyat. Akibatnya, candi ini terkubur di bawah lapisan tanah dan pasir selama berabad-abad. Penemuan kembali candi ini terjadi pada tahun 1836 dalam kondisi memprihatinkan, tertutup oleh tanah dan semak belukar. Sebagian besar struktur candi telah runtuh, namun seluruh bangunan candi masih dapat ditemukan, kecuali bagian atapnya.
Upaya pemugaran Candi Mendut dimulai pada tahun 1897 hingga 1904 oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemugaran ini berhasil memperbaiki bagian kaki dan tubuh candi. Pada tahun 1908, T. Van Erp melanjutkan pekerjaan tersebut, bersamaan dengan proyek pemugaran Candi Borobudur. Namun, pemugaran ini belum sepenuhnya rampung, terutama pada bagian atap candi.
Baru pada tahun 1925, beberapa stupa kecil berhasil dipasang kembali di atap Candi Mendut, menandai selesainya pemugaran yang lebih komprehensif.
Arsitektur dan Relief
Candi Mendut dibangun menggunakan kombinasi batu andesit pada bagian luar dan bata pada bagian dalamnya. Arsitektur candi ini terbagi menjadi tiga bagian utama: kaki, tubuh, dan atap.
Denah candi berbentuk persegi panjang dengan tinggi bagian kaki (batur) mencapai 3,7 meter. Tangga masuk terdiri dari 14 anak tangga yang mengarah ke pintu masuk candi. Arah hadap Candi Mendut unik, yaitu ke arah barat laut, berbeda dengan Candi Borobudur yang menghadap ke timur.
Di bagian atap candi, terdapat 48 stupa yang terbagi dalam tiga tingkat: 24 stupa pada tingkat pertama, 16 stupa pada tingkat kedua, dan 8 stupa di bagian paling atas.
Setiap sisi tangga dihiasi dengan makara, yaitu ornamen kepala naga berbelalai gajah dengan mulut terbuka lebar, menambah nilai artistik candi.
Dinding pipi tangga dihiasi dengan relief yang menggambarkan cerita-cerita yang mengandung ajaran Buddha, seperti:
- Pañcatantra: Karya sastra yang mengajarkan kebijaksanaan duniawi, terutama mengenai ilmu politik dan ketatanegaraan.
- Jataka: Relief yang menggambarkan cerita-cerita hewan yang mengandung makna ajaran hukum “sebab dan akibat”, mengajarkan nilai moral dan etika kehidupan.
Arca-Arca Buddha
Di dalam bilik candi, terdapat tiga arca Buddha yang sangat penting:
- Cakyamuni: Arca Buddha yang sedang duduk bersila dan mengajarkan khotbah.
- Avalokitesvara: Bodhisattva yang dikenal sebagai penolong umat manusia.
- Maitreya: Bodhisattva yang diyakini akan menjadi Buddha di masa depan, yang akan membebaskan umat manusia dari penderitaan.
Saat ini, Candi Mendut tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi umat Buddha, tetapi juga menjadi destinasi wisata bersejarah yang menarik wisatawan dari seluruh dunia. Candi ini menjadi tempat yang ideal untuk mempelajari sejarah, budaya, dan ajaran Buddha, serta mengagumi keindahan arsitektur kuno yang terawat dengan baik.