Polemik Pemakzulan Gibran: Mahfud MD Ungkap Kompleksitas Proses dan Preseden Sejarah

Rumitnya Proses Pemakzulan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencuat ke permukaan, memicu perdebatan mengenai mekanisme dan kelayakan proses tersebut. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, turut angkat bicara mengenai hal ini, menyoroti kerumitan serta tantangan politis yang mungkin dihadapi.

Mahfud MD menjelaskan bahwa secara konstitusional, pemakzulan seorang wakil presiden dimungkinkan. Namun, sistem yang ada dirancang sedemikian rupa sehingga sangat sulit untuk diimplementasikan. Prosesnya melibatkan tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Proses pemakzulan harus diawali dengan usulan dari DPR, yang harus disetujui oleh minimal dua pertiga anggota dewan. Usulan ini pun harus didasarkan pada alasan-alasan yang kuat, seperti:

  • Korupsi
  • Pengkhianatan
  • Penyuapan
  • Kejahatan besar lainnya
  • Berhalangan tetap karena sakit
  • Perbuatan tercela

Dengan komposisi parlemen saat ini, di mana koalisi pendukung pemerintah Prabowo-Gibran mendominasi, upaya pemakzulan dinilai akan sangat sulit terwujud. Mayoritas kursi di parlemen menjadi penghalang utama bagi inisiatif semacam itu.

Jika usulan pemakzulan lolos dari DPR, selanjutnya akan diajukan ke MK. MK akan melakukan verifikasi terhadap tuduhan-tuduhan yang diajukan oleh DPR. Namun, Mahfud menekankan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan pemecatan Gibran. MK hanya bertugas mengkonfirmasi kebenaran tuduhan tersebut.

Setelah proses di MK selesai, hasil verifikasi akan dikembalikan ke DPR untuk diperdebatkan kembali. Hasil akhir kemudian akan ditentukan oleh MPR. Namun, MPR pun tidak serta merta akan memutuskan pemakzulan. Keputusan yang diambil bisa berupa arahan perbaikan di masa depan.

Preseden Sejarah Pemakzulan di Indonesia: Antara Konstitusi dan Realitas Politik

Mahfud MD juga menyoroti bahwa dalam sejarah pemakzulan di Indonesia, mekanisme konstitusional seringkali tidak diikuti secara ketat. Contohnya adalah pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Secara formal, Gus Dur dimakzulkan karena dianggap melanggar konstitusi dengan mengganti Kapolri tanpa melalui prosedur yang benar. Namun, Mahfud menyebutkan bahwa sidang pemakzulan Gus Dur di MPR saat itu pun cacat hukum karena tidak dihadiri oleh semua fraksi.

Contoh lain adalah pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto dari Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Supersemar yang menjadi dasar pengambilalihan kekuasaan itu sendiri dianggap tidak sah pada awalnya, dan baru kemudian dibuatkan dasar hukumnya melalui Tap MPR.

Mahfud menekankan bahwa dalam kedua kasus tersebut, faktor dukungan politik dan opini publik memainkan peran yang sangat penting. Pemakzulan Gus Dur terjadi di tengah ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kepemimpinannya. Sementara pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto terjadi di tengah gejolak politik pasca-peristiwa G30S PKI.

Dari contoh-contoh tersebut, Mahfud menyimpulkan bahwa meskipun aturan dan mekanisme konstitusional penting, faktor-faktor politik dan dukungan publik seringkali menjadi penentu dalam proses pemakzulan. Sebuah tindakan yang secara formal tidak sah dapat menjadi sah jika mendapat dukungan kuat dari rakyat.