Pengerahan Personel TNI ke Kejaksaan Menuai Kritik: Indikasi Intervensi dan Pelanggaran Konstitusi?

Pengerahan Personel TNI ke Kejaksaan Menuai Kritik: Indikasi Intervensi dan Pelanggaran Konstitusi?

Aliansi masyarakat sipil yang bergerak dalam reformasi sektor keamanan baru-baru ini menyampaikan keprihatinan mendalam terkait penempatan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Mereka berpendapat bahwa tindakan ini melanggar sejumlah regulasi yang berlaku, termasuk konstitusi, dan berpotensi mengikis supremasi sipil dalam sistem hukum Indonesia. Pernyataan keras ini muncul sebagai respons terhadap telegram Panglima TNI yang berisi instruksi untuk menyiapkan dan mengerahkan personel guna memberikan dukungan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.

Organisasi masyarakat sipil tersebut berpendapat bahwa penugasan personel TNI ke instansi kejaksaan mengaburkan batas yang jelas antara fungsi pertahanan negara dan penegakan hukum sipil. Mereka menekankan bahwa peran utama TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan mengatasi ancaman dari luar, bukan terlibat dalam kegiatan penegakan hukum yang menjadi tanggung jawab kepolisian dan kejaksaan. Lebih lanjut, mereka mengkritik kurangnya dasar hukum yang kuat untuk justifikasi penempatan personel TNI di lingkungan kejaksaan. Kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan dianggap tidak memadai untuk membenarkan pengerahan pasukan perbantuan, yang menurut mereka dapat mengarah pada potensi penyalahgunaan wewenang dan erosi akuntabilitas.

Potensi Intervensi dan Kembalinya Dwifungsi TNI

Kekhawatiran utama yang diungkapkan oleh koalisi masyarakat sipil adalah potensi intervensi militer dalam proses penegakan hukum. Mereka berpendapat bahwa kehadiran personel TNI di lingkungan kejaksaan dapat memberikan tekanan yang tidak semestinya pada jaksa dan staf kejaksaan lainnya, sehingga memengaruhi independensi mereka dalam menjalankan tugas. Selain itu, mereka memperingatkan bahwa penempatan personel TNI di instansi sipil dapat membuka jalan bagi kembalinya praktik dwifungsi TNI, sebuah konsep kontroversial yang memberikan peran ganda kepada militer dalam urusan sipil selama era Orde Baru. Praktik ini secara luas dikritik karena merusak demokrasi dan supremasi sipil, dan dihapuskan sebagai bagian dari reformasi pasca-Orde Baru.

Desakan untuk Mencabut Perintah dan Memperkuat Supremasi Sipil

Menanggapi situasi ini, koalisi masyarakat sipil mendesak Panglima TNI untuk segera mencabut surat perintah yang memerintahkan penempatan personel TNI di lingkungan kejaksaan. Mereka juga menyerukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya komisi yang membidangi pertahanan, hukum, dan keamanan, untuk menyelidiki masalah ini secara menyeluruh dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah praktik dwifungsi TNI di masa depan. Selain itu, mereka meminta Presiden Republik Indonesia dan Menteri Pertahanan untuk memastikan pembatalan surat perintah tersebut, sebagai upaya untuk menegakkan supremasi sipil dalam sistem hukum Indonesia. Koalisi berpendapat bahwa supremasi sipil adalah prinsip fundamental dari negara demokrasi konstitusional, dan harus dilindungi dari segala bentuk intervensi militer.

Langkah Selanjutnya

Kasus pengerahan personel TNI ke lingkungan kejaksaan ini menyoroti ketegangan yang berkelanjutan antara peran militer dan sipil dalam masyarakat Indonesia. Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya menjaga garis demarkasi yang jelas antara fungsi pertahanan dan penegakan hukum, serta perlunya memastikan bahwa militer tetap tunduk pada otoritas sipil. Perkembangan lebih lanjut dalam masalah ini akan dipantau secara seksama oleh masyarakat sipil, yang tetap berkomitmen untuk menjaga supremasi sipil dan mencegah kembalinya praktik dwifungsi TNI.