Regulasi Tembakau yang Kontroversial: Industri Terancam, Penerimaan Negara Berpotensi Turun?

Polemik seputar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus bergulir, memicu kekhawatiran mendalam di kalangan pelaku industri tembakau. Aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini dinilai berpotensi melumpuhkan industri tembakau, mengancam mata pencaharian jutaan orang, dan berimbas pada penurunan signifikan pendapatan negara.

Para pengusaha rokok legal gencar menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal dalam PP 28/2024 yang dianggap terlalu memberatkan. Sulami Bahar, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, menyoroti sejumlah poin krusial yang dapat memukul industri tembakau:

  • Pembatasan Jarak Penjualan: Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan dan area bermain anak.
  • Pembatasan Iklan: Pelarangan pemasangan iklan produk tembakau di ruang publik dalam radius 500 meter dari fasilitas pendidikan dan area bermain anak.
  • Kemasan Polos: Rencana penerapan kemasan rokok seragam tanpa identitas merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Sulami Bahar menegaskan bahwa regulasi ini dapat memperburuk peredaran rokok ilegal yang hingga kini belum tertangani secara efektif. Ketidakseimbangan antara industri legal dan ilegal semakin mencolok, dengan industri legal yang terbebani oleh kenaikan tarif cukai, upah minimum, dan harga bahan baku.

Kepala Kantor Bea dan Cukai Wilayah Jawa Timur I, Untung Basuki, menekankan pentingnya industri hasil tembakau (IHT) bagi wilayahnya, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sebagai penyerap tenaga kerja dan penjaga stabilitas sosial. Ia menggarisbawahi kontribusi signifikan IHT terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2025, target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp 230,09 triliun dari total target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 301,6 triliun. Jawa Timur menargetkan kontribusi sebesar 60,18% dari total CHT nasional.

Jawa Timur memiliki 977 perusahaan tembakau yang tersebar di berbagai kabupaten/kota. IHT juga merupakan sektor padat karya yang menopang kehidupan ribuan pekerja, terutama perempuan pelinting sigaret kretek tangan (SKT).

Untung Basuki menekankan perlunya pendekatan terintegrasi dalam menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau, yang mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, dan penegakan hukum. Ia mendukung pengendalian rokok ilegal untuk melindungi ekosistem usaha legal dan penerimaan negara.

Jawa Timur menerima alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) terbesar, yaitu Rp 3,58 triliun dari total nasional Rp 6,39 triliun. Dana ini dialokasikan untuk kesehatan (40%), kesejahteraan masyarakat (50%), dan penegakan hukum (10%).

Mengingat kontribusi signifikan Jawa Timur terhadap pendapatan negara, desakan untuk meninjau kembali pasal-pasal terkait tembakau dalam PP 28/2024 menjadi semakin kuat. Pemerintah pusat diharapkan dapat melakukan evaluasi komprehensif terhadap regulasi tersebut agar tidak menimbulkan disrupsi pada industri tembakau nasional.