Jeritan dari Pedalaman Kalimantan: Suku Punan Long Tungu dan Perjuangan Meraih Kesejahteraan
Menyusuri Sungai Bkiyau: Potret Kehidupan Suku Punan di Long Tungu
Di jantung Kalimantan Utara, tersembunyi di antara lekuk Sungai Bkiyau yang membelah hijaunya hutan, terdapat sebuah komunitas yang menyimpan cerita tentang ketahanan, harapan, dan perjuangan melawan keterbatasan. Masyarakat Suku Punan di RT 08, Desa Long Tungu, Kabupaten Bulungan, hidup berdampingan dengan alam, namun terpinggirkan dari sentuhan pembangunan yang merata.
Ulo Njau, seorang tokoh masyarakat Punan yang telah dua dekade berjuang bersama komunitasnya, menuturkan pahitnya realitas yang mereka hadapi. Dulu, kehidupan mereka adalah nomaden, berburu di rimba demi sesuap nasi. Kini, mereka menetap, namun tantangan baru justru menghadang.
Akses Terisolasi dan Jeratan Ekonomi
Menuju pemukiman mereka bukanlah perkara mudah. Perjalanan selama satu setengah jam menggunakan perahu tradisional, menyusuri sungai yang penuh jeram dan riam, menjadi satu-satunya akses. Di sana, sekitar 56 jiwa dari 16 keluarga hidup tanpa listrik, fasilitas kesehatan yang memadai, apalagi lembaga pendidikan yang layak.
"Kami ingin anak-anak kami sekolah, tapi jaraknya sangat jauh," keluh Ulo, menggambarkan dilema pendidikan yang menghantui generasi muda Punan. Malam hari, gelap gulita menyelimuti perkampungan, hanya diterangi remang lampu minyak.
Mata pencaharian utama mereka bertumpu pada hasil alam: bertani dan berburu. Namun, gelombang ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup. Ulo pernah mencoba mengirim anaknya bekerja di perkebunan, namun ditolak dengan alasan yang tidak jelas, menambah luka dalam himpitan ekonomi.
Hasil panen, seperti cabai, seringkali dihargai murah oleh tengkulak. "Seharusnya Rp 60.000 per kilogram, tapi kami hanya dibayar Rp 20.000," ujarnya dengan nada getir. Mahalnya biaya transportasi, dengan ongkos bahan bakar perahu mencapai Rp 50.000 sekali jalan, semakin memperburuk keadaan.
Mimpi Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan yang Terjauh
Pendidikan adalah mimpi yang sulit diraih. Tak ada satu pun anggota keluarga Ulo yang berhasil menamatkan sekolah dasar. Anak-anak harus pergi ke Long Tungu untuk bersekolah, jauh dari pengawasan orang tua, yang akhirnya berujung pada putus sekolah.
Di pemukiman lain seperti Berun, meskipun terdapat bangunan sekolah, guru hanya datang dua kali seminggu. Anak-anak lebih banyak bermain daripada belajar, masa depan mereka terancam suram.
Masalah kesehatan juga menjadi momok menakutkan. Akses ke rumah sakit di Tanjung Selor membutuhkan waktu lima jam perjalanan, dengan biaya yang selangit. Pengobatan tradisional menjadi pilihan utama, meskipun seringkali tidak efektif.
BPJS Kesehatan memang ada, namun rumitnya proses administrasi menjadi penghalang bagi banyak warga. Sebagai alternatif, mereka mencari pengobatan di Long Beluah, tempat mereka bisa tinggal selama masa perawatan.
Secercah Harapan di Tengah Keterbatasan
Di tengah keterbatasan yang mendera, solidaritas menjadi kekuatan utama. "Jika ada yang tidak punya uang untuk biaya perahu, kami saling membantu," kata Ulo, menggambarkan eratnya persaudaraan di komunitasnya. "Kami adalah satu keluarga di sini."
Ulo berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada Suku Punan, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. "Kami ingin anak-anak kami memiliki masa depan yang lebih baik, namun kami membutuhkan bantuan," pungkasnya, menyiratkan harapan yang tak pernah padam di tengah kerasnya kehidupan.