Klaim Penembakan Rafale: Momentum bagi Industri Pertahanan Tiongkok?

markdown Klaim Pakistan atas keberhasilan jet tempur J-10C buatan Tiongkok dalam menembak jatuh sejumlah pesawat tempur India, termasuk Rafale, telah memicu diskusi hangat di kalangan analis militer dan investor. Kabar ini mendorong lonjakan saham perusahaan penerbangan Tiongkok, AVIC Chengdu Aircraft, sebesar 40% dalam seminggu terakhir.

India belum secara resmi mengakui kehilangan Rafale. Namun, sumber-sumber dari Amerika Serikat dan Prancis mengindikasikan adanya konfirmasi terkait insiden tersebut. Di tengah meningkatnya kekuatan militer Tiongkok, yang telah lama absen dari konflik besar selama lebih dari empat dekade, peristiwa ini berpotensi menjadi ujian nyata bagi kemampuan teknologi militernya.

Konflik antara India dan Pakistan, di mana Pakistan sebagian besar bergantung pada persenjataan Tiongkok, sementara India mendapatkan lebih dari separuh persenjataannya dari AS dan sekutu, menjadi medan pertempuran tidak langsung antara teknologi militer Tiongkok dan Barat. Laporan mengenai serangan rudal India ke Pakistan, yang diduga dilancarkan oleh jet tempur Rafale buatan Prancis dan Su-30 buatan Rusia, dibalas dengan klaim Pakistan atas jatuhnya lima pesawat tempur India, termasuk tiga Rafale, satu MiG-29, dan satu Su-30, oleh jet tempur J-10C.

"Pertempuran ini merupakan tonggak sejarah dalam penggunaan operasional sistem canggih buatan Tiongkok," kata Salman Ali Bettani, seorang pengamat dari Universitas Quaid-i-Azam di Islamabad.

Sumber dari Kementerian Pertahanan Prancis mengkonfirmasi jatuhnya setidaknya satu Rafale. Bilal Khan, pendiri Quwa Group, sebuah lembaga analisis pertahanan di Toronto, menyatakan bahwa jika klaim ini terverifikasi, hal itu akan menunjukkan bahwa sistem persenjataan Pakistan setidaknya setara dengan, atau bahkan lebih maju dari, apa yang ditawarkan oleh Eropa Barat, terutama Prancis.

Kolonel Zhou Bo, seorang peneliti di Universitas Tsinghua, berpendapat bahwa jika J-10C benar-benar berhasil menembak jatuh Rafale, hal itu akan meningkatkan kepercayaan yang signifikan terhadap sistem persenjataan Tiongkok. Lebih lanjut, Zhou Bo menyebutkan, keberhasilan ini menjadi dorongan besar bagi penjualan senjata Tiongkok di pasar internasional.

Saat ini, AS memimpin sebagai eksportir senjata terbesar di dunia, menguasai 43% ekspor antara tahun 2020 dan 2024. Sementara Tiongkok berada di peringkat keempat, dengan hampir dua pertiga ekspor senjatanya ditujukan ke Pakistan.

Khan, analis pertahanan di Toronto, sependapat bahwa insiden ini akan sangat menguntungkan industri pertahanan Tiongkok. Ia memprediksi akan ada minat dari negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang mungkin kesulitan mengakses teknologi Barat yang paling canggih.

"Dengan kemunduran Rusia akibat invasi ke Ukraina, saya yakin Tiongkok mulai menargetkan pasar tradisional Moskow, seperti Aljazair, Mesir, Irak, dan Sudan," kata Khan.

Antony Wong Dong, seorang pengamat militer di Makau, menyebut insiden ini sebagai "iklan yang kuat" bagi Tiongkok, tidak hanya untuk jet tempur, tetapi juga untuk rudal buatan Tiongkok. J-10C yang digunakan oleh Angkatan Udara Pakistan diperkirakan dilengkapi dengan PL-15, rudal udara ke udara tercanggih Tiongkok, yang dilaporkan memiliki jangkauan hingga 200-300 kilometer. Versi ekspornya diketahui memiliki jangkauan sekitar 145 kilometer.