Penempatan Anak Bermasalah di Barak TNI Tuai Kritik: Ancaman Trauma Psikologis Mengintai

Kebijakan beberapa pemerintah daerah yang menempatkan anak-anak dengan masalah perilaku di barak Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pembentukan karakter menuai kontroversi. Inisiatif yang diterapkan oleh sejumlah kepala daerah, termasuk di Jawa Barat, Cianjur, Purwakarta, dan Singkawang, ini didasarkan pada harapan dapat mengubah perilaku negatif siswa melalui disiplin ala militer.

Gubernur Jawa Barat sebelumnya mengklaim bahwa program ini telah menunjukkan hasil positif, seperti penurunan perilaku merokok dan konsumsi minuman keras di kalangan siswa yang terlibat. Namun, klaim ini tidak serta merta menghilangkan kekhawatiran di kalangan pakar pendidikan.

Salah satu kritikus utama kebijakan ini adalah Radius Setiyawan, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Ia berpendapat bahwa pendekatan militeristik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan modern dan berpotensi menimbulkan dampak psikologis negatif yang mendalam pada anak-anak.

Paradigma yang Bertentangan

Radius Setiyawan menekankan perbedaan mendasar antara tujuan barak militer dan lembaga pendidikan anak. Berikut adalah point penting yang disampaikan:

  • Di barak militer, fokusnya adalah melatih tentara untuk memiliki fisik dan mental yang kuat melalui disiplin keras, termasuk bentakan dan hukuman fisik.
  • Pendidikan anak, di sisi lain, seharusnya berfokus pada pengembangan potensi anak secara holistik melalui pendekatan yang suportif dan konstruktif.
  • Menyamakan pendidikan anak dengan pendidikan militer adalah sebuah kesalahan paradigmatik yang dapat merusak perkembangan anak.

Menurutnya, jika sekolah dianggap belum efektif dalam membentuk karakter siswa, solusinya bukanlah mengirim mereka ke barak militer, melainkan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah itu sendiri. Pendekatan militeristik berisiko menciptakan trauma pada anak-anak yang ditempatkan di lingkungan yang penuh dengan disiplin dan kekerasan.

Definisi Ulang Kenakalan Anak

Radius Setiyawan juga menyoroti pentingnya mendefinisikan ulang konsep "anak nakal." Kenakalan, menurutnya, bukanlah indikasi kurangnya kecerdasan atau potensi. Sebaliknya, kenakalan seringkali merupakan gejala dari masalah yang lebih mendalam, seperti masalah keluarga, masalah sosial, atau masalah psikologis. Oleh karena itu, penanganan anak-anak bermasalah harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang akar penyebab perilaku mereka.

Pendekatan yang Lebih Konstruktif

Radius Setiyawan merekomendasikan pendekatan pendidikan yang lebih konstruktif dan berbasis psikologi perkembangan anak. Pendekatan ini melibatkan:

  • Intervensi pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan.
  • Program-program pencegahan kenakalan remaja yang berbasis pendidikan dan konseling.
  • Penguatan peran sekolah, keluarga, dan komunitas dalam mendidik dan membimbing anak-anak.

Ia menekankan bahwa penanganan kenakalan remaja tidak bisa dilakukan secara instan atau dengan cara-cara yang justru dapat memperburuk kondisi anak. Pemerintah harus fokus pada upaya-upaya jangka panjang yang berinvestasi pada pendidikan dan kesejahteraan anak-anak.

Dengan demikian, kebijakan penempatan anak bermasalah di barak TNI memerlukan kajian ulang yang mendalam. Prioritas utama haruslah kesejahteraan psikologis dan perkembangan anak, bukan sekadar penegakan disiplin melalui cara-cara militeristik.