Kontroversi Pengamanan Kejaksaan oleh TNI: Soliditas Lembaga Negara atau Intervensi Militer?

Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, menegaskan komitmen TNI untuk terus memberikan pengamanan kepada kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) di seluruh Indonesia. Penegasan ini muncul di tengah gelombang kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menentang keras keterlibatan militer dalam ranah penegakan hukum.

Menurut Kristomei, kerjasama antara TNI dan Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah sebuah sinergi positif yang tidak perlu diperdebatkan. Ia menjelaskan bahwa surat telegram yang beredar mengenai pengamanan kejaksaan merupakan bagian dari kerjasama rutin dan bersifat preventif, yang telah berjalan sebelumnya. Dukungan TNI ini, lanjutnya, didasarkan pada Nota Kesepahaman Nomor NK/6/IV/2023/TNI yang ditandatangani pada 6 April 2023. Kristomei juga menekankan bahwa setiap bentuk dukungan TNI diberikan atas permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur, serta selalu berpegang pada ketentuan hukum yang berlaku. TNI, tegasnya, akan selalu menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergisitas antar lembaga.

"Hal ini juga sebagai pengejawantahan tugas pokok TNI sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara," imbuhnya.

Namun, pandangan ini berbanding terbalik dengan penilaian Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka mengecam surat telegram Panglima TNI yang memerintahkan persiapan dan pengerahan personel serta perlengkapan pendukung ke seluruh Kejati dan Kejari. Koalisi menilai perintah ini bertentangan dengan Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI yang mengatur tugas dan fungsi pokok TNI.

Koalisi berpendapat bahwa pengerahan militer dalam pengamanan kejaksaan semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil, khususnya dalam penegakan hukum. Tugas dan fungsi TNI seharusnya difokuskan pada aspek pertahanan negara, bukan pada ranah penegakan hukum yang merupakan kewenangan Kejaksaan sebagai institusi sipil. Mereka juga mempertanyakan dasar hukum pengerahan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dalam konteks penegakan hukum, mengingat belum ada regulasi resmi yang mengatur hal tersebut.

Koalisi berargumen bahwa pengamanan institusi kejaksaan seharusnya dapat dilakukan oleh satuan pengamanan internal (satpam) tanpa melibatkan personel TNI, kecuali jika ada ancaman yang signifikan yang dapat membenarkan pengerahan satuan TNI. Mereka menilai surat telegram tersebut tidak proporsional dan berpotensi melanggar hukum. Koalisi memperingatkan bahwa langkah ini dapat mengancam independensi penegakan hukum, mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan penegakan hukum, serta membuka peluang kembalinya praktik dwifungsi TNI.

Berikut adalah poin-poin penting yang diangkat oleh Koalisi Masyarakat Sipil:

  • Intervensi Militer: Pengerahan TNI dianggap sebagai bentuk intervensi militer dalam ranah sipil, khususnya penegakan hukum.
  • Pelanggaran Regulasi: Perintah pengerahan TNI dinilai bertentangan dengan berbagai regulasi yang mengatur tugas dan fungsi TNI.
  • Ketiadaan Dasar Hukum: Tidak ada dasar hukum yang kuat untuk pengerahan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dalam konteks penegakan hukum.
  • Ketidakproporsionalan: Pengerahan TNI dianggap tidak proporsional karena pengamanan kejaksaan seharusnya dapat dilakukan oleh satuan pengamanan internal.
  • Ancaman Independensi: Langkah ini dapat mengancam independensi penegakan hukum dan mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan penegakan hukum.
  • Potensi Dwifungsi TNI: Pengerahan TNI dalam pengamanan kejaksaan dikhawatirkan dapat membuka peluang kembalinya praktik dwifungsi TNI.