Melestarikan Tradisi Nutuk Beham: Ungkapan Syukur Panen Masyarakat Kedang Ipil

Ritual Nutuk Beham: Menjaga Warisan Leluhur di Desa Kedang Ipil

Masyarakat Desa Kedang Ipil, yang terletak di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memiliki cara unik untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen padi ketan yang melimpah. Ritual ini bernama Nutuk Beham, sebuah tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, jauh sebelum peradaban modern menyentuh desa mereka. Bunyi lesung dan aroma beras sangrai menjadi pembuka hari, menandai dimulainya prosesi sakral ini.

Gotong Royong dan Kearifan Lokal

Setiap tahunnya, warga dari sembilan Rukun Tetangga (RT) berpartisipasi aktif dalam Nutuk Beham. Mereka bergotong royong menjaga tradisi yang diyakini sudah ada sejak sebelum masuknya agama dan sistem pemerintahan modern. Dahulu, ritual ini dilakukan di ladang-ladang, tempat para leluhur menggantungkan hidup dari hasil bumi. Kini, meskipun zaman telah berubah, semangat kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur tetap terjaga.

Proses Nutuk Beham sendiri melibatkan beberapa tahapan penting:

  • Perendaman Padi: Padi ketan direndam selama tiga hari. Dulu menggunakan air sungai, kini memanfaatkan kolam terpal.
  • Mahantuyi (Penyangraian): Padi ketan disangrai hingga kering sempurna. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 15 menit per wajan besar dan dilakukan secara bergantian oleh kelompok-kelompok warga.
  • Nutuk (Penumbukan): Padi ditumbuk menggunakan lesung dari kayu nangka dan alu dari kayu ulin. Meskipun kini dibantu mesin pemisah debu, proses adat tetap dipertahankan. Satu kelompok terdiri dari 7-8 orang, dan dibagi menjadi 4-5 kelompok untuk menumbuk seluruh padi.

Setiap RT menyumbangkan sekitar 11 kilogram padi ketan, dan pada tahun ini terkumpul 1.732 kilogram padi. Hasil panen ini kemudian diolah menjadi Beham, sejenis wajik yang terbuat dari ketan, gula merah, dan kelapa parut. Beham menjadi simbol syukur dan kebersamaan yang dibagikan kepada seluruh masyarakat.

Penghormatan Kepada Leluhur

Sebelum prosesi penumbukan dimulai, seorang tokoh spiritual desa melantunkan mantra-mantra adat (Mamang). Ritual ini bertujuan untuk memberitahu dan menghormati roh-roh leluhur, serta menyampaikan rasa terima kasih atas panen yang telah diberikan. Masyarakat Kedang Ipil percaya bahwa roh-roh leluhur hadir bersama mereka di balai adat selama ritual berlangsung.

Nutuk Beham berlangsung selama tiga hari tiga malam, dari fajar hingga menjelang pagi. Warga secara bergantian melakukan tugas menyangrai, menumbuk, dan memasak. Setiap tiga RT membentuk satu kelompok, dan peran mereka dirotasi setiap harinya untuk memastikan semua warga terlibat.

Tradisi yang Terus Hidup

Sejak tahun 2015, Nutuk Beham dikemas dalam format festival adat. Namun, esensi dari tradisi ini tetap terjaga. Semua kegiatan dilakukan secara swadaya, tanpa mengandalkan dana pemerintah yang besar. Perubahan hanya terjadi pada lokasi dan waktu pelaksanaan, dari ladang ke balai adat, dan dari kegiatan kampung menjadi perayaan tahunan yang menarik perhatian sebagai kekayaan budaya Kalimantan Timur.

Nama Desa Kedang Ipil sendiri memiliki makna yang mendalam. "Ipil" adalah nama kayu, sedangkan "Kedang" berarti bantaran sungai. Jadi, Kedang Ipil mengacu pada tempat tinggal pertama leluhur mereka di bantaran sungai yang banyak ditumbuhi pohon ipil.

Di tengah arus modernisasi, Nutuk Beham menjadi bukti bahwa tradisi dapat terus hidup dan berkembang. Bagi masyarakat Kedang Ipil, Nutuk Beham bukan sekadar ritual musiman, melainkan identitas dan simbol keberlangsungan budaya. Selama masyarakat masih menghargai warisan leluhur, suara lesung dan alu akan terus bergema di Desa Kedang Ipil.