Mengkritik dengan Cerdas di Era Digital: Studi Kasus Mahasiswi ITB dan Meme Politik

Kasus penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) akibat unggahan meme yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto memicu perdebatan tentang batasan dan cara menyampaikan kritik yang efektif di era digital. Peristiwa ini menyoroti pentingnya memahami etika dan strategi dalam menyampaikan pendapat, terutama melalui media sosial.

Fenomena kritik melalui meme, menurut Prof. Bagong Suyanto, pakar Sosiologi dari Universitas Airlangga (UNAIR), seringkali muncul karena saluran komunikasi konvensional dianggap kurang efektif. Di era digital, meme menjadi medium populer untuk menyampaikan pesan, termasuk kritik sosial dan politik. Namun, Bagong menekankan bahwa esensi kritik yang konstruktif terletak pada substansi, bukan pada kekasaran diksi atau visual. Kritik yang efektif mampu menjangkau sasaran tanpa melanggar norma dan etika yang berlaku.

Senada dengan Bagong, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menyarankan agar mahasiswa dan masyarakat umum berhati-hati dalam menyampaikan kritik. Adi mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi dalam demokrasi memiliki batasan yang jelas. Mengkritik pemerintah adalah hak setiap warga negara, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum atau memprovokasi kebencian. Belajar dari sejarah, perubahan membutuhkan proses dan kesabaran. Mengkritik dengan cara yang cerdas dan terukur akan lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Kasus mahasiswi ITB ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya literasi digital dan pemahaman hukum dalam menyampaikan kritik di era media sosial.