Anomali 'Sell in May': Mitos atau Realita di Bursa Saham Indonesia?

Fenomena 'Sell in May and Go Away' kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan investor pasar modal. Isu yang menyebutkan bahwa bulan Mei akan menjadi periode suram bagi bursa saham, termasuk di Indonesia, memicu beragam spekulasi dan kekhawatiran. Namun, benarkah anggapan ini memiliki dasar yang kuat, atau hanya sekadar mitos yang berulang?

Reyhan Pratama, seorang analis teknikal dari Sucor Sekuritas, memberikan pandangannya terkait hal ini. Berdasarkan data historis, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kenaikan hanya sebanyak tiga kali di bulan Mei. Namun, jika cakupan waktu diperluas menjadi 20 tahun, terlihat bahwa IHSG justru mengalami kenaikan sebanyak 10 kali. Data ini menunjukkan bahwa peluang IHSG untuk naik atau turun di bulan Mei relatif seimbang, sehingga sulit untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena 'Sell in May' selalu berlaku di pasar modal Indonesia.

Reyhan Pratama menjelaskan bahwa secara historis, fenomena ini kurang konsisten dan kurang relevan jika diterapkan secara mentah-mentah untuk pasar Indonesia. Hal ini lantaran fenomena 'Sell in May and go away' awalnya berasal dari pasar saham di Inggris dan Amerika Serikat (AS). Fenomena ini berkaitan dengan liburan musim panas, dimana aktivitas pasar menurun sehingga harga saham cenderung turun. Kondisi pasar modal Indonesia justru mengalami kenaikan dan penurunan yang seimbang tiap bulan Mei. Maka ia mengategorikan 'Sell in May' di Indonesia hanyalah mitos belaka.

Lebih lanjut, Reyhan menekankan bahwa asal-usul 'Sell in May' berasal dari pasar saham di negara-negara Barat, yang memiliki karakteristik berbeda dengan pasar Indonesia. Di negara-negara tersebut, periode Mei seringkali bertepatan dengan musim liburan musim panas, yang menyebabkan penurunan aktivitas perdagangan dan berimbas pada penurunan harga saham. Sementara itu, kondisi pasar modal Indonesia cenderung lebih stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh faktor musiman seperti liburan.

Oleh karena itu, Reyhan menyarankan agar investor tidak terpaku pada isu 'Sell in May', melainkan fokus pada analisis fundamental yang mendalam. Analisis fundamental memungkinkan investor untuk menilai kinerja dan prospek jangka panjang suatu emiten, sehingga dapat mengambil keputusan investasi yang lebih rasional dan terinformasi. Selain itu, analisis teknikal juga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi momentum yang tepat untuk masuk ke pasar, terutama saat harga saham mengalami koreksi.

Dengan kata lain, investor tidak perlu panik atau terburu-buru dalam mengambil keputusan investasi hanya karena isu 'Sell in May'. Sebaliknya, penting untuk melakukan analisis yang cermat dan komprehensif, baik dari segi fundamental maupun teknikal, sebelum membuat keputusan investasi apapun. Dengan pendekatan yang bijaksana dan terukur, investor dapat meminimalisir risiko dan memaksimalkan potensi keuntungan di pasar modal.