Aksi Anarkis Warnai Kembalinya Arema FC ke Kanjuruhan: Tragedi Seolah Terlupakan?

Kembalinya Arema FC ke Stadion Kanjuruhan, yang seharusnya menjadi momen kebangkitan, justru ternodai oleh aksi tidak terpuji dari oknum suporter. Peristiwa ini memicu kekecewaan dan pertanyaan besar, apakah tragedi Kanjuruhan yang merenggut ratusan nyawa benar-benar telah menjadi pelajaran bagi semua pihak terkait.

Insiden bermula usai kekalahan Arema FC dengan skor telak 0-3 dari Persik Kediri. Kekecewaan Aremania, kelompok suporter Arema FC, meluap dengan melakukan pelemparan batu ke arah bus tim Persik Kediri. Akibatnya, kaca bus pecah dan melukai pelatih Persik Kediri, Divaldo Alves. Luka tersebut didapatkan karena posisi pelatih yang duduk dekat dengan kaca bus yang pecah. Kejadian ini sungguh ironis, mengingat laga tersebut adalah pertandingan kandang perdana Arema FC di Stadion Kanjuruhan setelah menjadi tim musafir akibat Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022.

General Manager Arema FC, Yusrinal Fitriandi, menyampaikan kekecewaannya atas insiden tersebut. Ia menyoroti upaya klub yang telah berjuang selama tiga tahun untuk mempertahankan eksistensi dan kembali ke kandang sendiri. Namun, ia merasa perjuangan tersebut tidak dihargai dengan adanya tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter.

Tindakan anarkis ini kembali mengingatkan pada Tragedi Kanjuruhan, yang salah satu pemicunya adalah ketidakmampuan suporter dalam menerima kekalahan. Kala itu, ribuan Aremania menyerbu masuk ke lapangan setelah timnya kalah dari Persebaya Surabaya. Aksi tersebut memicu bentrokan dengan aparat keamanan, yang berujung pada jatuhnya ratusan korban jiwa.

Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi momentum bagi perbaikan sepak bola Indonesia. Berbagai kelompok suporter sempat menunjukkan itikad baik untuk berdamai, namun semangat tersebut memudar seiring dengan kebijakan larangan suporter away. PSSI beralasan bahwa aturan tersebut merupakan arahan FIFA untuk program Transformasi Sepakbola Indonesia. Beberapa kelompok suporter seperti PSS Sleman, Persis Solo, Persiba Bantul, dan PSIM Yogyakarta tergabung dalam 'Mataram Islah' tetap konsisten menjaga perdamaian.

Inggris menjadi contoh sukses dalam mereformasi sepak bola pasca-tragedi Hillsborough. Renovasi stadion, penerapan sistem filter penonton, dan reformasi mentalitas suporter berhasil meminimalisir tragedi serupa. Tim pengamanan juga berperan aktif dalam menjaga kelancaran pertandingan dengan tensi tinggi melalui sistem Bubble Match dengan memberikan pengawalan ketat kepolisian selama kedatangan, pertandingan, dan setelah laga.

Di Indonesia, sistem Bubble Match dianggap terlalu berisiko. Kebencian terhadap kubu rival terus tertanam karena tidak pernah ada momentum pertemuan. 'Hukuman ringan' dalam Tragedi Kanjuruhan juga akhirnya tidak membuat jera para pelakunya. Insiden di Kanjuruhan baru-baru ini membuktikan bahwa suporter, khususnya Aremania tidak pernah belajar dari Tragedi Kanjuruhan.