Arsitek Didorong Aktif Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Inovasi dan Kolaborasi

Jakarta - Para arsitek di Indonesia didorong untuk terus berinovasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Harapan ini disampaikan oleh Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU), Diana Kusumastuti, dalam forum arsitektur ARCH:ID 2025 yang berlangsung pada bulan Mei lalu.

Diana Kusumastuti menekankan pentingnya peran arsitek dalam mengurangi emisi karbon di sektor bangunan dan gedung. Pemerintah Indonesia, lanjutnya, berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Target ini mencakup emisi yang terkandung dalam sektor pengguna gedung.

Kementerian PU, kata Diana, telah mengambil langkah nyata dengan mengatur pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung Hijau (BGH) dan Bangunan Gedung Cerdas (BGC), baik secara mandatory maupun sukarela. Standar ini menekankan prinsip reduce, reuse, dan recycle dalam penggunaan sumber daya, berorientasi pada siklus hidup, serta menerapkan desain pasif dan aktif yang terintegrasi untuk mengurangi penggunaan energi.

Selain penerapan standar BGH dan BGC, arsitek juga diharapkan mengadopsi teknologi konstruksi modern seperti Building Information Modeling (BIM). BIM memungkinkan analisis beban energi yang akurat, sehingga pembangunan gedung dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan.

Pada kesempatan yang sama, Christi Pramudianti Wihardjono dari PT Tatalogam Lestari (Tatalogam Group) menyoroti pentingnya penggunaan material konstruksi yang rendah emisi karbon dalam proses manufaktur, produksi, dan distribusi. Menurutnya, Tatalogam Lestari telah menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai fokus utama, dengan memproduksi baja ringan ramah lingkungan yang telah bersertifikasi Industri Hijau dari Kemenperin dan sertifikasi lainnya.

Saat ini, beberapa material yang diproduksi Tatalogam Lestari sedang dalam proses mendapatkan Greenship Solution Endorsment (GSE), sebagai jaminan bahwa material tersebut menghasilkan jejak karbon yang minimal. Christi menambahkan bahwa penggunaan material ramah lingkungan dan teknologi tepat guna dapat mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi perubahan iklim.

Christi mencontohkan penggunaan material purlin dengan sistem Domus Fastrac dalam pembangunan Ruang Riung. Sistem ini meminimalisir limbah di lokasi pembangunan karena semua material telah diperhitungkan dan dipotong sesuai kebutuhan di pabrik sebelum dikirim ke lokasi. Ruang Riung, hasil kolaborasi Tatalogam Lestari dan Mark Associates, dibangun dengan sistem Domus Fastrac yang memungkinkan pemasangan material seperti lego, sehingga tidak ada material yang terbuang. Material yang digunakan juga dirancang untuk dapat digunakan kembali atau dimodifikasi untuk keperluan lain, sesuai dengan konsep keberlanjutan.