Guru Honorer Sleman Terjerat Mafia Tanah: Pemkab dan Pengadilan Angkat Bicara
Kasus dugaan praktik mafia tanah yang menimpa seorang guru honorer di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi sorotan. Hedi Ludiman, bersama istrinya Evi Fatimah, telah berjuang selama lebih dari satu dekade untuk memulihkan hak atas tanah milik mereka yang diduga dirampas oleh sindikat mafia tanah.
Awal Mula Persoalan
Pada tahun 2011, Hedi dan Evi didatangi oleh dua orang yang mengaku ingin menyewa rumah mereka yang berdiri di atas lahan seluas 1.475 meter persegi di Paten, Tridadi, Sleman. Kedua orang tersebut, yang kemudian diketahui berinisial SJ dan SH, berencana menggunakan rumah tersebut sebagai tempat konveksi selama lima tahun. Kesepakatan sewa menyewa pun terjadi dengan biaya Rp 25 juta yang akan dibayarkan secara bertahap.
Sebagai jaminan, SJ dan SH meminta sertifikat tanah milik Evi. Dengan dalih pembuatan perjanjian sewa di notaris, Evi dibawa ke kantor notaris. Di sana, ia diminta menandatangani dokumen tanpa diberi kesempatan untuk membaca isinya. Belakangan, Evi dikejutkan dengan kedatangan pihak bank yang menginformasikan bahwa sertifikat tanahnya telah diagunkan dan kreditnya macet. Lebih parah lagi, sertifikat tersebut telah beralih nama ke SJ.
Upaya Hukum yang Buntu
Hedi melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. SH berhasil ditangkap dan divonis 9 bulan penjara, sementara SJ masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Selain melaporkan ke polisi, Hedi juga menggugat bank, SJ, dan SH secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Sleman. Namun, gugatannya dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima.
Pada tahun 2024, masalah kembali muncul ketika sertifikat tanah tersebut kembali beralih nama ke inisial RZA setelah proses lelang, meskipun sertifikat tersebut telah diblokir.
Respons Pemerintah Kabupaten Sleman
Menanggapi kasus ini, Bupati Sleman, Harda Kiswaya, menyatakan bahwa pihaknya perlu memahami duduk perkara secara detail sebelum memberikan tanggapan yang lebih spesifik. Ia mengundang Hedi dan Evi untuk datang langsung ke Pemkab Sleman dan membawa semua data terkait agar permasalahan dapat diurai dan dijelaskan secara komprehensif.
Bupati Harda menegaskan komitmen Pemkab Sleman untuk membantu warganya tanpa biaya apapun. Ia menekankan pentingnya pertemuan langsung agar tidak terjadi bias informasi.
Tanggapan Pengadilan Negeri Sleman
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Cahyono, menyarankan agar Hedi berkonsultasi dengan panitera perdata terkait kemungkinan pengajuan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK). Ia menjelaskan bahwa batas waktu untuk banding sudah lewat karena putusan dikeluarkan pada tahun 2015.
Cahyono menyarankan agar Hedi mengajukan gugatan baru dengan format yang lebih baik. Ia juga menekankan pentingnya mempelajari penyebab putusan NO sebelumnya, apakah karena kekurangan pihak, legal standing yang lemah, atau gugatan yang kabur.
Kasus yang menimpa Hedi dan Evi ini menjadi contoh nyata bagaimana praktik mafia tanah dapat merugikan masyarakat kecil. Upaya hukum yang telah ditempuh belum membuahkan hasil, sementara aset berharga mereka terancam hilang. Pemerintah daerah dan lembaga peradilan diharapkan dapat memberikan perhatian serius dan solusi yang adil bagi korban mafia tanah.