Guru Honorer di Sleman Menanti Keadilan dalam Kasus Dugaan Mafia Tanah, Polisi Buru Pelaku Utama
Kisah pilu seorang guru honorer di Sleman, Yogyakarta, Hedi Ludiman, memasuki babak baru. Selama 12 tahun terakhir, Hedi berjuang tanpa lelah untuk merebut kembali hak atas tanah milik istrinya, Evi Fatimah, yang diduga menjadi korban praktik mafia tanah. Kasus ini bermula dari penyewaan rumah yang berujung pada hilangnya hak milik atas tanah seluas 1.475 meter persegi di kawasan Tridadi, Sleman.
Polresta Sleman mengonfirmasi bahwa kasus ini masih dalam penanganan intensif. AKP Riski Adrian, Kasat Reskrim Polresta Sleman, menyatakan bahwa satu pelaku telah divonis bersalah, sementara pelaku utama berinisial SJ masih dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO).
Kronologi Dugaan Penipuan
Pada tahun 2011, SJ dan SH datang kepada Evi Fatimah dengan maksud menyewa rumah. Karena Evi terbiasa menyewakan rumahnya, permintaan tersebut disetujui. Namun, situasi berubah ketika kedua penyewa meminta sertifikat tanah sebagai "jaminan". Evi, tanpa curiga, menyerahkan sertifikat tersebut, apalagi salah satu penyewa adalah seorang wanita lanjut usia.
Selanjutnya, Evi diajak ke kantor notaris di Kalasan. Di sana, ia hanya bertemu dengan staf notaris dan diminta menandatangani sejumlah dokumen tanpa diberi kesempatan membaca isinya. Belakangan, keluarga Hedi terkejut saat mengetahui bahwa sertifikat tanah mereka telah diagunkan ke sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk pinjaman sebesar Rp 300 juta. Lebih parah lagi, sertifikat tersebut sedang dalam proses balik nama ke atas nama SJ.
"Dari situ saya mulai cari tahu ke BPN, dan ternyata benar, sertifikat sudah dibalik nama," ungkap Hedi dengan nada putus asa.
Upaya Hukum dan Kendala
Merasa menjadi korban penipuan, Hedi melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Pada tahun 2014, SH berhasil ditangkap dan divonis 9 bulan penjara. Namun, otak dari dugaan penipuan ini, SJ, berhasil melarikan diri dan hingga kini masih buron. Dalam proses penyelidikan, Hedi menemukan fakta bahwa KTP istrinya telah digunakan dalam proses legalisasi tanpa sepengetahuan Evi. Notaris yang terlibat juga telah dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan terbukti melanggar kode etik.
Selain jalur pidana, Hedi juga menempuh jalur perdata dengan menggugat bank dan kedua pelaku di Pengadilan Negeri Sleman. Sayangnya, gugatan tersebut ditolak karena dianggap cacat formil. Upaya lain dengan melaporkan kasus ini ke Ditreskrimsus Polda DIY juga menemui jalan buntu karena kasusnya dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Keadaan semakin rumit ketika sertifikat yang sudah diblokir oleh BPN justru kembali berpindah tangan dari SJ ke seseorang berinisial RZA. Hedi mengungkapkan kebingungannya, "Saya heran, sudah diblokir tapi bisa dibalik nama lagi. RZA sempat datang, saya sudah jelaskan kalau ini tanah bermasalah."
Dampak Personal dan Harapan Terakhir
Perjuangan panjang selama 12 tahun ini telah menguras fisik dan mental Hedi. Dengan penghasilan sebagai guru honorer swasta yang hanya Rp 150.000 per bulan, Hedi terpaksa bekerja sampingan sebagai montir untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mengaku sampai menelantarkan keluarga karena fokus memperjuangkan hak atas tanah istrinya.
Di tengah kesulitan yang mendera, Hedi masih menyimpan harapan agar negara hadir dan membantunya mengembalikan hak atas tanah istrinya. Ia memohon kepada pemerintah pusat dan Komisi III DPR RI untuk memberikan perhatian pada kasusnya dan memberikan keadilan bagi keluarganya.
"Saya mohon kepada pemerintah pusat dan Komisi III DPR RI, bantu kami. Saya hanya guru honorer yang ingin keadilan. Kembalikan hak istri saya," pinta Hedi dengan nada penuh harap.