Kontroversi Pendidikan Militeristik: Menteri HAM dan Komnas HAM Berselisih Pendapat Soal Kebijakan 'Barak' Dedi Mulyadi

Pro dan Kontra Pendidikan di Barak Militer Jawa Barat: Tinjauan dari Perspektif HAM

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melibatkan barak militer sebagai bagian dari program pendidikan karakter bagi siswa bermasalah memicu perdebatan sengit. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai secara terbuka menyatakan dukungannya, sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) justru mengkritisi langkah tersebut.

Dukungan dari Kementerian HAM

Menurut Menteri Pigai, program yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ini tidak serta merta melanggar prinsip-prinsip HAM. Ia berpendapat bahwa pelatihan di barak militer bukan merupakan corporal punishment atau hukuman fisik, melainkan sebuah metode untuk menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, pembentukan karakter, dan peningkatan mentalitas siswa.

"Dalam perspektif HAM, saya pertegaskan tidak melanggar HAM, karena kalau itu tidak dilakukan yang disebut corporal punishment," tegas Pigai. Ia meyakini bahwa program ini berfokus pada pendidikan mental dan karakter, bukan pada penerapan hukuman fisik yang melanggar HAM.

Bahkan, Pigai berencana mengusulkan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) untuk mengadopsi skema serupa secara nasional jika program di Jawa Barat terbukti berhasil. Ia berpandangan bahwa pendidikan dengan sentuhan militeristik dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kompetensi siswa di berbagai bidang.

Penolakan dari Komnas HAM dan DPR

Berseberangan dengan pandangan Menteri HAM, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa pendidikan sipil bukanlah kewenangan lembaga militer. Ia menyarankan agar rencana tersebut dievaluasi kembali. Menurutnya, melibatkan siswa dalam kegiatan di barak militer untuk tujuan edukasi karier, seperti mengenal tugas-tugas TNI, masih dapat diterima. Namun, melatih mereka layaknya seorang tentara dianggap kurang tepat.

"Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan civil education. Mungkin perlu ditinjau kembali rencana itu," ujar Atnike.

Kritik juga datang dari Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana. Ia berpendapat bahwa tidak semua masalah, termasuk masalah siswa, dapat diselesaikan oleh tentara. Bonnie menekankan perlunya kajian mendalam terhadap program ini, karena terdapat banyak cara lain untuk membangun karakter siswa tanpa harus menggunakan pendekatan militeristik.

Implementasi Program dan Data Siswa

Program pendidikan karakter ala militer ini telah diimplementasikan di Purwakarta dan Bandung sejak awal Mei 2025. Puluhan siswa SMP yang dianggap bermasalah dikirim ke Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha dan Rindam III Siliwangi untuk mengikuti pelatihan.

Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jawa Barat mencatat bahwa sebanyak 272 siswa SMA dari 106 sekolah di Jawa Barat telah mengikuti program serupa di barak militer. Data ini menunjukkan bahwa program tersebut telah menjangkau sejumlah besar siswa dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Barat.

Analisis dan Implikasi

Perdebatan mengenai program pendidikan di barak militer ini menyoroti perbedaan pandangan mengenai pendekatan yang tepat dalam menangani siswa bermasalah. Di satu sisi, ada keyakinan bahwa disiplin militer dapat membentuk karakter dan mental siswa. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa melibatkan militer dalam pendidikan sipil dapat melanggar hak-hak anak dan mengarah pada pendekatan yang terlalu keras.

Efektivitas program ini dalam jangka panjang masih perlu dievaluasi secara komprehensif. Penting untuk mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial program ini terhadap siswa, serta memastikan bahwa hak-hak mereka tetap terlindungi selama mengikuti pelatihan di barak militer.

Penting untuk dicatat bahwa program ini masih berlangsung dan perdebatan seputar efektivitas dan implikasinya terhadap HAM terus berlanjut.