Banten Bergulat dengan Pengangguran dan PHK: Tantangan Struktural dan Perlindungan Pekerja yang Belum Optimal

Provinsi Banten, sebuah wilayah industri yang dinamis, kembali menghadapi sorotan tajam terkait isu pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Meskipun data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 menunjukkan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menjadi 6,64 persen, atau sekitar 412.710 orang, angka ini masih menempatkan Banten sebagai salah satu provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Penurunan ini, meski menggembirakan, belum sepenuhnya mencerminkan perbaikan fundamental dalam struktur ketenagakerjaan dan perlindungan pekerja di wilayah tersebut.

Penyerapan tenaga kerja di Banten memang menunjukkan peningkatan, terutama di sektor konstruksi. Namun, problem klasik tetap menghantui: ketidaksesuaian (mismatch) antara keterampilan lulusan pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Mayoritas pengangguran berasal dari lulusan SMP, SMA, dan SMK, mengindikasikan adanya kesenjangan signifikan antara sistem pendidikan dan tuntutan industri. Tingkat pengangguran tertinggi justru berada pada lulusan SMP, SMA, dan SMK, sementara lulusan diploma memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah.

Masalah pengangguran di Banten tidak terbatas pada wilayah perkotaan, melainkan merata di seluruh desa. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan angka pengangguran belum menyentuh akar persoalan, yaitu sistem pendidikan yang belum adaptif dan pembangunan desa yang belum optimal dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas. Angka kemiskinan di Banten juga mengalami penurunan tipis, namun biaya hidup yang semakin tinggi mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat masih tertekan.

Gelombang PHK massal yang melanda Banten, terutama di sektor alas kaki dan tekstil, menjadi pukulan berat bagi ribuan pekerja dan keluarga mereka. Penurunan permintaan dari pemegang merek internasional, relokasi pabrik, dan penurunan efisiensi akibat krisis ekonomi global menjadi faktor utama penyebab PHK. Perusahaan-perusahaan telah berupaya menahan PHK melalui berbagai cara, namun penurunan order produksi memaksa mereka untuk melakukan pemangkasan karyawan.

Ancaman PHK masih membayangi Banten. Jika permintaan global dan domestik tidak segera pulih, gelombang PHK susulan sangat mungkin terjadi. Pemerintah daerah telah menyiapkan pelatihan dan program penempatan kerja, namun efektivitasnya masih dipertanyakan di tengah pasar tenaga kerja yang fluktuatif.

Fenomena pengangguran, PHK, dan kemiskinan di Banten saling terkait erat dan membentuk lingkaran masalah sosial-ekonomi. Setiap gelombang PHK massal mendorong lonjakan pengangguran dan menambah jumlah penduduk miskin. Ketidakseimbangan antara kebutuhan pasar kerja dan kualitas pendidikan menjadi akar masalah.

Sistem pendidikan dan pelatihan vokasi di Banten belum mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Banyak anak muda terjebak dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Pemerintah Provinsi Banten telah meluncurkan berbagai program, seperti Kartu Pra Kerja, untuk meningkatkan keterampilan dan mendorong kewirausahaan. Namun, efektivitas program ini masih menjadi pertanyaan besar karena pelatihan yang diberikan belum relevan dengan kebutuhan industri lokal dan akses informasi yang terbatas di kalangan masyarakat bawah.

Kebijakan ketenagakerjaan di Banten mengacu pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yang mengatur hak-hak dasar pekerja. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari optimal. Banyak pekerja yang belum menerima hak upah layak, tunjangan, bahkan pesangon ketika terkena PHK akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran perusahaan. Kondisi ini memicu keresahan dan aksi protes buruh yang berulang.

Masalah utama di Banten adalah masih banyak perusahaan yang abai terhadap hak-hak tenaga kerja. Pelanggaran normatif seperti tidak membayar THR, menolak memberi cuti, hingga PHK sepihak tanpa pesangon sesuai aturan masih sering terjadi. Pengawasan pemerintah daerah terbukti lemah dan lamban, sehingga pelanggaran terus berulang.

Hukum Administrasi Negara berperan vital dalam memastikan kebijakan ketenagakerjaan berjalan adil dan efektif. Perlindungan korban PHK diatur tegas dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Namun, implementasi perlindungan hukum tenaga kerja di Banten masih jomplang antara aturan dan realita.

Ribuan pekerja masih kesulitan mendapatkan upah layak, pesangon, atau jaminan kesehatan. Akar masalahnya adalah lemahnya pengawasan dan rendahnya kepatuhan perusahaan. Jumlah pengawas yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi. Sanksi bagi perusahaan yang melanggar pun belum tegas, membuat pelanggaran terus berulang.

Banten membutuhkan langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah ini. Akses pelatihan vokasi harus diperluas, lapangan kerja baru harus diperbanyak, dan program perlindungan sosial harus benar-benar menjangkau korban PHK dan kelompok rentan. Jika tidak, masalah pengangguran dan kemiskinan di Banten akan terus berputar-putar tanpa solusi yang efektif.