PWI Kaltim Mengecam Aksi Intimidasi 'Buzzer' Terhadap Jurnalis: Bukan Bagian dari Pers!

Aksi penyebaran data pribadi (doxing) yang menimpa Achmad Ridwan, pendiri media lokal Selasar.co di Kalimantan Timur, memicu reaksi keras dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur.

Ridwan menjadi korban doxing setelah mengkritik praktik serupa yang dilakukan oleh akun-akun yang diduga merupakan buzzer pemerintah kota. Ketua PWI Kaltim, Abdurrahman Amin, menyatakan keprihatinannya atas insiden ini dan mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi terhadap pekerja pers dan kebebasan berekspresi.

"Ini bukan hanya masalah PWI. Ini adalah upaya pembungkaman," tegas Abdurrahman. Ia menambahkan bahwa buzzer bukanlah bagian dari pers dan kerap bertindak intimidatif di media sosial.

Abdurrahman menekankan bahwa kritik dalam dunia jurnalistik memiliki dasar metodologi dan kode etik yang jelas. Apabila terdapat kesalahan, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan dengan serangan personal, terutama yang dilakukan oleh akun-akun anonim. Tindakan doxing terhadap pemimpin redaksi media lokal seperti Selasar.co tidak dapat dianggap remeh. Menjaga ruang kebebasan berekspresi, khususnya bagi media yang menyuarakan kepentingan publik, adalah hal yang krusial.

"Jika hal ini dibiarkan, tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga membuat jurnalis enggan untuk bersuara," ujarnya. Ia mengingatkan bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh undang-undang dan memiliki peran penting bagi masyarakat.

Kasus ini bermula ketika video berisi identitas pribadi Ridwan dan istrinya, termasuk informasi KTP seperti NIK, mulai tersebar di platform TikTok dan Instagram pada Minggu (11/5/2025). Penyebaran informasi ini terjadi sehari setelah Selasar.co memposting video monolog Ridwan yang mengecam aksi buzzer dan mengungkap identitas pribadi kreator konten TikTok dengan nama akun kingtae.life.

Dalam keterangan tertulisnya, Ridwan menyatakan bahwa konten-konten yang dibuat para buzzer justru memvalidasi kritiknya bahwa tindakan mereka harus ditertibkan karena mengganggu kebebasan berekspresi dan merusak demokrasi.

Video monolog berdurasi sekitar lima menit tersebut menggambarkan para buzzer sebagai bagian dari operasi sistematis yang dipelihara oleh pemerintah kota, yang ia sebut sebagai "Pemerintah Kota Bikini Bottom". Ia menyoroti pola serangan terhadap warga yang vokal terhadap pembangunan kota. Alih-alih mendapatkan tanggapan argumentatif, kritik yang disampaikannya justru dibalas dengan aksi doxing.

Meski menjadi korban doxing, Ridwan mengaku tidak gentar dan menyerukan masyarakat untuk tidak tinggal diam menghadapi pola serupa yang dapat menimpa siapa pun.

"Hari ini identitas konten kreator, juga identitas saya dan istri disebar. Tapi bukan tidak mungkin kelak identitas Anda dan orang tersayang juga akan disebar oleh para buzzer jika Anda berseberangan dengan mereka," ungkapnya.

Ridwan berharap agar pihak berwenang menindak tegas akun-akun yang menyebarkan data pribadinya. Ia juga meminta pejabat publik, terutama mereka yang berada di balik praktik buzzer, untuk tidak membiarkan aksi-aksi intimidatif ini terus berlanjut.

"Kritik itu vitamin bagi pemerintah. Karena tidak semua aparatur sipil negara berani menyuarakan kebenaran. Maka, kalau ada elemen luar yang memberi kritik, itu harusnya disambut, bukan diberangus dengan doxing," pungkas Ridwan.