RUU Perampasan Aset: Urgensi Pemberantasan Korupsi dan Pemulihan Kerugian Negara

Mendesaknya RUU Perampasan Aset dalam Pemberantasan Korupsi

Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan dukungannya terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, sebuah langkah yang dipandang krusial dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia dan memulihkan aset negara yang diselewengkan.

Komitmen ini diperkuat oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, yang mengindikasikan bahwa Presiden akan berdialog dengan pimpinan DPR dan partai politik untuk mempercepat pembahasan RUU tersebut. Dukungan ini menjadi angin segar dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang selama ini terhambat oleh berbagai faktor.

Korupsi di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, merambah ke berbagai lini kekuasaan, mulai dari kementerian dan lembaga negara, BUMN, hingga pemerintah daerah. Estimasi kerugian negara akibat korupsi mencapai angka fantastis, bahkan disebut-sebut mencapai Rp 1 kuadriliun. Praktik korupsi semakin sistematis, terstruktur, dan melibatkan modus operandi yang canggih.

Salah satu kendala utama dalam pemulihan kerugian negara adalah tidak adanya instrumen hukum yang memadai untuk merampas aset hasil korupsi, terutama yang tidak terkait langsung dengan proses pidana. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum ini dan memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mengejar dan menyita aset-aset tersebut.

Lambatnya Pembahasan di DPR dan Alternatif Perppu

Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Perampasan Aset telah dikirimkan ke DPR sejak 4 Mei 2023, namun hingga kini belum ada pembahasan yang signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi. RUU Perampasan Aset hanya masuk dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029 dan tidak termasuk dalam daftar prioritas tahunan.

Ketiadaan aturan yang jelas mengenai perampasan aset hasil kejahatan korupsi menjadi penghambat utama dalam upaya pemulihan kerugian negara. Padahal, aturan ini juga merupakan mandat dari Konvensi Anti Korupsi PBB (UNCAC). Pasal 54 ayat (1) UNCAC menyerukan agar negara-negara mempertimbangkan langkah-langkah yang memungkinkan perampasan aset hasil korupsi tanpa melalui proses pidana dalam kasus-kasus tertentu.

Dalam konteks ini, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi opsi yang relevan. Pasal 22 ayat (1) Konstitusi memberikan wewenang kepada presiden untuk menerbitkan Perppu dalam keadaan mendesak. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan tiga syarat kegentingan yang memaksa, yaitu:

  • Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
  • Belum adanya undang-undang yang mengatur masalah tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum.
  • Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan pembuatan undang-undang biasa karena memakan waktu lama.

Melihat besarnya kerugian negara akibat korupsi dan lambatnya pembahasan RUU di DPR, penerbitan Perppu Perampasan Aset dapat menjadi solusi yang konstitusional dan efektif. Apalagi, Presiden Prabowo telah secara eksplisit menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset adalah regulasi yang mendesak.

Implikasi dan Dampak Penerapan RUU Perampasan Aset

Penerapan RUU Perampasan Aset diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih kuat bagi para pelaku korupsi, mempersempit ruang gerak mereka, dan mempercepat pemulihan aset negara. Selain itu, regulasi ini juga akan memberikan sinyal positif kepada dunia internasional bahwa Indonesia serius dalam membangun sistem hukum yang tangguh dan akuntabel.

Kehadiran RUU Perampasan Aset diharapkan dapat meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, meningkatkan kepercayaan publik terhadap negara, dan mendorong reformasi birokrasi yang lebih bersih dan efisien. Dengan demikian, pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga dari biaya sosial yang ditimbulkan, termasuk biaya antisipasi, reaksi, dan dampak korupsi terhadap perekonomian dan masyarakat secara keseluruhan.

Secara teknokratik, RUU Perampasan Aset bisa menjadi jalan keluar untuk menyita aset hasil tindak pidana karena bisa diambil tanpa menunggu terduga pelaku kejahatan itu diproses hukum. Penyelamatan aset melalui UU Perampasan Aset tidak akan dikaitkan secara langsung dengan kesalahan dari pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, tetapi kerugian negara secara nyata yang telah terjadi.

Jika RUU Perampasan Aset berhasil diimplementasikan, maka hal itu akan menjadi awal dari era baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Regulasi ini akan memperkuat efek jera bagi para pelaku kejahatan korupsi, mempersempit ruang gerak mereka, dan mempercepat pemulihan aset negara yang selama ini hilang tanpa pertanggungjawaban.