Buzzer Politik: Akademisi Unsika Soroti Dampak Negatif pada Demokrasi Digital Indonesia
Era digital menghadirkan tantangan baru bagi demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah maraknya penggunaan buzzer politik di media sosial. Para akademisi Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) menyoroti fenomena ini sebagai ancaman serius terhadap kualitas demokrasi digital. Buzzer politik, yang seringkali terafiliasi dengan partai politik atau tokoh tertentu, memanfaatkan platform media sosial untuk menggiring opini publik, menyerang lawan politik, dan bahkan membungkam kritik terhadap pemerintah.
Hendry Roris Sianturi, seorang dosen dan peneliti di bidang Media dan Jurnalisme di Unsika, menjelaskan bahwa buzzer politik beroperasi sebagai alat propaganda digital yang menciptakan polarisasi dan memanipulasi opini publik. Mereka menggunakan berbagai taktik, termasuk penyebaran disinformasi, penggunaan akun palsu, dan teknologi deepfake, untuk memengaruhi persepsi masyarakat. Ketiadaan regulasi dan etika politik yang jelas memperburuk situasi ini, memungkinkan penyebaran informasi yang tidak akurat dan menyesatkan tanpa konsekuensi yang berarti.
Hendry menekankan bahwa masyarakat saat ini hidup di era post-truth, di mana kebenaran tidak lagi didasarkan pada fakta, tetapi lebih pada narasi yang sesuai dengan emosi dan selera individu. Dalam konteks ini, kebohongan yang dikemas dengan menarik dan diproduksi secara massal dapat dengan mudah diterima sebagai kebenaran. Hal ini menjadikan masyarakat rentan terhadap manipulasi dan propaganda.
Menghadapi tantangan ini, Hendry menyerukan peran aktif dari dunia akademik, khususnya kampus. Ia mendorong mahasiswa untuk menjadi agen perubahan dan kontra-buzzer di media sosial, dengan menggunakan pemikiran kritis dan literasi digital untuk melawan disinformasi dan propaganda. Namun, hal ini memerlukan dukungan serius dari pemerintah dan institusi pendidikan dalam bentuk sistem pembelajaran yang mengacu pada critical thinking.
Secara khusus, Hendry mendorong Fakultas Ilmu Komunikasi Unsika untuk lebih fokus pada pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran kritis terhadap propaganda digital. Ia menekankan pentingnya penguatan pemikiran filsafat postmodern untuk membentuk mahasiswa yang melek literasi digital dan mampu menganalisis informasi secara kritis.
Selain itu, Hendry mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya pada komentar dan testimoni yang beredar di media sosial. Ia mengingatkan bahwa suara mayoritas di media sosial tidak selalu mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ia mendorong masyarakat untuk mencari kebenaran pada sumber yang kredibel, seperti media massa yang masih menggunakan metode verifikasi dan jurnalisme yang beretika.
Untuk melawan dampak negatif buzzer politik dan meningkatkan kualitas demokrasi digital, diperlukan upaya bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, media massa, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan meningkatkan kesadaran kritis, memperkuat literasi digital, dan mencari informasi dari sumber yang kredibel, kita dapat melindungi diri dari manipulasi dan propaganda, serta membangun demokrasi yang lebih sehat dan partisipatif.
Berikut adalah beberapa poin yang perlu diperhatikan:
- Peran Buzzer Politik: Buzzer politik digunakan sebagai alat propaganda untuk memanipulasi opini publik.
- Era Post-Truth: Masyarakat cenderung mempercayai narasi yang sesuai dengan emosi dan selera, bukan fakta.
- Peran Akademisi dan Mahasiswa: Dunia akademik berperan penting dalam menangkal dampak negatif buzzer politik dengan menumbuhkan kesadaran kritis.
- Imbauan untuk Masyarakat: Masyarakat harus lebih kritis dan mencari informasi dari sumber yang kredibel.
- Tantangan Demokrasi Digital: Maraknya buzzer politik menjadi tantangan serius bagi kualitas demokrasi digital di Indonesia.