Meme Satir Mahasiswa ITB Berujung Pelaporan: Kebebasan Berekspresi Terancam?

Unggahan Meme Presiden oleh Mahasiswa ITB Memicu Kontroversi dan Ancaman Hukum

Dunia maya kembali diramaikan dengan unggahan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat meme satir terhadap Presiden Republik Indonesia. Meme tersebut, yang menampilkan representasi visual presiden dalam konteks yang dianggap tidak pantas, dengan cepat menyebar luas dan memicu beragam reaksi dari masyarakat. Sementara beberapa pihak melihatnya sebagai bentuk ekspresi seni dan kritik sosial, yang lain menganggapnya sebagai penghinaan terhadap simbol negara dan melanggar hukum.

Tidak lama setelah menjadi viral, unggahan meme tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang batasan kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya dalam konteks kritik terhadap pemerintah dan pejabat publik. Apakah meme semacam itu merupakan bentuk kejahatan yang harus ditindak secara hukum, atau justru merupakan manifestasi dari hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan mengkritik kebijakan pemerintah?

Batasan Kritik: Satir vs. Penghinaan

Secara hukum, penting untuk membedakan antara kritik, satir, dan penghinaan. Meskipun ketiganya sering kali tumpang tindih dalam persepsi publik, namun memiliki implikasi hukum yang berbeda. Satir, yang didefinisikan sebagai cara mengkritik orang atau gagasan dengan cara yang lucu, umumnya dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi. Namun, di Indonesia, pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering kali digunakan untuk menindak ekspresi semacam ini, dengan alasan menjaga ketertiban umum atau mencegah ujaran kebencian.

Kasus meme mahasiswa ITB menyoroti masalah elastisitas dalam penegakan hukum terkait kebebasan berekspresi. Pasal-pasal dalam UU ITE sering kali ditafsirkan secara subjektif, tergantung pada kepentingan dan perspektif pihak yang berwenang. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden bukan lagi merupakan delik pidana, aparat penegak hukum terkadang mengabaikan putusan tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan pasal-pasal pidana untuk menindak kritik terhadap pemerintah.

Dampak "Chilling Effect" dan Krisis Legitimasi

Akibatnya, masyarakat merasa takut untuk menyampaikan pendapat dan mengkritik pemerintah secara terbuka. Fenomena ini dikenal sebagai "chilling effect", di mana warga negara memilih untuk diam karena takut akan konsekuensi hukum. Pelaporan meme mahasiswa ITB ke polisi menimbulkan pertanyaan tentang mengapa negara begitu cepat bereaksi terhadap kritik, bahkan dalam bentuk yang satir dan humoris. Apakah negara sedang mengalami krisis legitimasi, sehingga merasa perlu untuk terus-menerus menegakkan wibawa melalui hukum, alih-alih menjawab substansi dari kritik tersebut?

Meme mahasiswa ITB mungkin dianggap tidak pantas oleh sebagian kalangan, namun pelaporan kasus ini ke polisi dinilai sebagai tindakan yang berlebihan. Negara yang kuat adalah negara yang tahan terhadap kritik, bahkan kritik yang pahit sekalipun. Alih-alih menunjukkan kekuatan, pelaporan ini justru mengindikasikan ketidakmatangan politik. Ketika negara terlalu mudah tersinggung dan menggunakan instrumen hukum pidana untuk membungkam kritik, maka negara tersebut sedang berjalan mundur dari semangat demokrasi.

Kebebasan Akademik dan Masa Depan Demokrasi

Peristiwa ini juga menjadi pukulan bagi kampus seperti ITB, yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan etos ilmiah yang kuat. Apakah ruang akademik kini tidak lagi aman bagi mahasiswa untuk berekspresi dan mengkritik pemerintah? Konstitusi Republik Indonesia menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, dan jaminan ini tidak bersyarat pada "kesopanan" atau "kenyamanan penguasa".

Jika kritik dalam bentuk meme saja dilaporkan ke polisi, bagaimana nasib kritik ilmiah? Apakah kelak jurnal, opini, bahkan disertasi yang mengkritik kebijakan negara juga akan ditarik ke ranah pidana? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan berlebihan, mengingat meningkatnya laporan polisi terhadap ekspresi di media sosial dalam beberapa tahun terakhir. Revisi UU ITE menjadi keharusan untuk memperjelas pasal-pasal multitafsir dan mencegah penyalahgunaan pasal-pasal tersebut untuk membungkam kritik. Sudah saatnya negara menyadari bahwa hukum pidana bukanlah alat untuk menjaga wibawa penguasa, melainkan keteladanan.

Apa yang diunggah oleh mahasiswa ITB mungkin hanya meme, namun ia berbicara banyak tentang kondisi bangsa. Meme itu adalah cermin: barangkali kita tidak suka dengan apa yang tergambar di dalamnya, tapi menutup cermin tidak akan menghilangkan kenyataan. Jika negara terus-menerus menindak ekspresi publik dengan hukum pidana, maka kita harus bertanya: demokrasi ini milik siapa? Rakyatkah, atau penguasa semata?

  • Pasal 28E UUD 1945
  • UU ITE