Indonesia Waspadai Dampak 'Gencatan Senjata' Dagang AS-China Terhadap Perekonomian Nasional
Kabar kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan China untuk melakukan 'gencatan senjata' dalam perang dagang memberikan sedikit angin segar bagi stabilitas ekonomi global. Namun, para pengamat ekonomi mengingatkan Indonesia untuk tetap waspada terhadap potensi dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Ibrahim Assuaibi, seorang pengamat pasar uang, menyatakan bahwa meskipun pasar merespons positif dengan adanya 'gencatan senjata' selama 90 hari, ketidakpastian masih membayangi. Menurutnya, kesepakatan ini bersifat sementara dan berpotensi memicu kembali ketegangan perdagangan di masa mendatang. Rencana penerapan biaya impor, yaitu 30% untuk impor dari China ke AS dan 10% untuk impor dari AS ke China setelah masa 'gencatan senjata' berakhir, menjadi perhatian utama.
"Pasar masih diliputi kewaspadaan. Meskipun ada jeda selama 90 hari tanpa biaya impor, potensi penerapan tarif impor di masa depan tetap menjadi ancaman perang dagang," ujar Ibrahim.
Selain itu, Ibrahim menyoroti dampak 'gencatan senjata' terhadap harga emas. Redanya ketegangan geopolitik antara Israel dan Palestina turut berkontribusi pada penurunan harga emas. Ia juga memperkirakan nilai dolar AS akan mengalami penguatan terhadap mata uang negara lain.
"Penurunan tensi geopolitik dan meredanya kekhawatiran perang dagang memberikan tekanan pada harga emas. Di sisi lain, kebijakan bank sentral AS terkait potensi penurunan suku bunga pada bulan Juli juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan," jelasnya.
Namun, Ibrahim meyakini bahwa penurunan harga emas bersifat sementara dan akan kembali naik seiring dengan berlanjutnya konflik Rusia-Ukraina.
Bhima Yudhistira, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), memberikan pandangan yang lebih mendalam mengenai dampak 'gencatan senjata' terhadap Indonesia. Ia menekankan bahwa tarif yang lebih rendah bagi produk China yang masuk ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia.
"Produk-produk Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi berpotensi direbut oleh produk China. Sementara itu, Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi," kata Bhima.
Mengenai potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya, Bhima menjelaskan bahwa hal ini bergantung pada selisih tarif yang dibebankan kepada Indonesia. Jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, ada risiko relokasi industri dari Indonesia ke China.
"Investasi dari AS dan negara-negara Eropa cenderung lebih masif ke China dibandingkan negara alternatif lainnya, termasuk Indonesia. Realisasi investasi di Indonesia semakin tertekan setelah PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) pada kuartal I 2025 tercatat kontraksi sebesar -7,4% (q-to-q) dibandingkan kuartal sebelumnya," ungkapnya.
Bhima menyarankan agar Indonesia lebih agresif dalam melobi AS dengan memanfaatkan pembaruan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang dinikmati Freeport. Ia juga menyarankan agar isu Laut China Selatan dimasukkan ke dalam meja negosiasi untuk menekan AS agar memberikan tarif yang lebih rendah kepada Indonesia dibandingkan China.
"Ada kekhawatiran bahwa tarif Indonesia akan tetap lebih tinggi dari tarif China yang sebesar 30%. Kita juga perlu mewaspadai masuknya barang impor dari China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia selama masa jeda negosiasi. Pemicu PHK di sektor padat karya Indonesia lebih mungkin disebabkan oleh persaingan dengan barang impor daripada kesulitan ekspor ke pasar AS," pungkasnya.