Ritual Sakral Pembuatan Lisah Sepuh: Warisan Luhur Penjamasan Pusaka Sunan Kalijaga

Di Kadilangu, Demak, sebuah tradisi luhur terus dipertahankan oleh para wanita dari trah Sunan Kalijaga. Mereka berkumpul di Gedung Pangeran Widjil, mengenakan pakaian serba putih, untuk melaksanakan ritual sakral pembuatan lisah sepuh. Lisah sepuh, minyak inti yang menjadi bagian tak terpisahkan dari prosesi penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga, yaitu keris Kyai Carubuk dan baju Kotang Ontokusumo.

Proses pembuatan lisah sepuh tidaklah sembarangan. Hanya wanita trah Sunan Kalijaga yang telah memasuki usia menopause yang diperkenankan untuk membuatnya. Sehari sebelum ritual, mereka menjalankan puasa sebagai bentuk penyucian diri. Sebelum memasuki dapur, mereka bersama-sama berdoa di makam Sunan Kalijaga, memohon restu dan kelancaran.

Bahan-bahan dasar pembuatan lisah sepuh pun tidak luput dari prosesi khusus. Bahan-bahan tersebut diarak menuju makam Sunan Kalijaga oleh pasukan pengiring, menambah khidmat suasana. Kemudian, mereka menuju dapur, di mana 11 buah kelapa pilihan telah disiapkan. Kelapa-kelapa ini memiliki kriteria khusus, yaitu harus diambil dari pohon yang menghadap ke arah barat dan utara, serta dari pohon yang melengkung ke arah yang sama. Kelapa tidak boleh dijatuhkan ke tanah. Pemilihan ini sarat akan simbolisme, mengingatkan pada posisi kepala jenazah yang dimakamkan menghadap utara.

Dengan hati yang bersih dan penuh doa, para wanita mulai memarut kelapa dan memasak santan hingga menjadi minyak. Selama proses ini, lantunan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW terus berkumandang, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan berkat. Proses ini memakan waktu lebih dari tiga jam, dilakukan secara bergantian dengan penuh khidmat, hingga minyak lisah sepuh siap.

Minyak yang telah jadi kemudian diserahkan secara simbolis oleh Ketua Lembaga Adat Kadilangu, Raden Agus Supriyanto, kepada panembahan Kadilangu Raden Krisnaidi, selaku ketua tim penjamasan. Lisah sepuh ini kemudian disimpan dan nantinya akan dicampurkan dengan berbagai wewangian sebagai sarana penjamasan dua pusaka Sunan Kalijaga.

Juru Kunci Makam Sunan Kalijaga, Raden Edi Mursalin menjelaskan bahwa pakem pembuatan lisah sepuh diwariskan secara turun-temurun dan mengandung makna mendalam. Kata "sepuh" sendiri berarti tua, sesuai dengan usia para pembuat lisah sepuh yang telah memasuki masa menopause.

"Mengandung arti, yang membuat ini orang-orang sepuh (tua), orang-orang suci yang sudah menghadap ke kiblat," ujar Edi.

Pemilihan buah kelapa pun tidak sembarangan dan sarat makna. Kelapa harus diambil dari tandan yang menghadap barat atau utara. "Barat itu arah kiblat, orang yang sudah sepuh itu arahnya ke kiblat. Utara itu menggambarkan orang yang meninggal dunia kepalanya di sisi utara, ini leluhur jadi kita hanya meneruskan," jelas Edi.

Tradisi penjamasan pusaka Sunan Kalijaga telah berlangsung selama ratusan tahun, diwariskan dari generasi ke generasi. Ketua Lembaga Adat Kadilangu, R Agus Supriyanto, mengungkapkan bahwa awal mula tradisi ini adalah wasiat Sunan Kalijaga sebelum wafat, yang berpesan untuk menyimpan dan merawat pusaka tersebut.

"Anakku, keris ini simpan dan jamasi, taruhlah di atas perisai lampu, kamu dan seluruh keturunanmu jangan coba-coba berani melihat bentuk dan asal usulnya. Jika sampai melanggar pasti akan mengalami kebutaan," ungkap Agus, mengutip wasiat Sunan Kalijaga.

Sesuai pesan tersebut, prosesi penjamasan dua pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dilaksanakan dengan cara yang unik, yaitu dengan mata terpejam. "Jadi kami dan mbah-mbah dulu seperti itu, dengan mata terpejam, keunikannya di situ," tutup Agus.

Penjamasan dua pusaka Sunan Kalijaga dijadwalkan berlangsung pada 10 Dzulhijah atau bertepatan dengan 6 Juni 2025.