Kisah Endang Suparman: Dedikasi Sang Maestro di Balik Kemudi Bus Medal Sekarwangi Selama 35 Tahun

Mengukir Sejarah di Balik Kemudi: Dedikasi Endang Suparman Bersama Bus Medal Sekarwangi

Bus Medal Sekarwangi (MS), sebuah nama yang tak lekang oleh waktu, telah menjadi bagian integral dari lanskap transportasi di Sumedang, Jawa Barat, sejak mengaspal pertama kali pada 8 Desember 1951. Lebih dari sekadar moda transportasi, MS menjelma menjadi ikon kesantunan, keselamatan, dan pengabdian. Reputasinya terjaga dengan catatan nihil insiden fatal selama puluhan tahun beroperasi.

Di balik kesuksesan MS, terdapat sosok Endang Suparman, seorang sopir yang telah mengabdikan dirinya selama 35 tahun. Di usia senjanya yang ke-60, Endang tetap setia memegang kemudi, menaklukkan rute antarkota dan antarprovinsi dengan ketekunan yang tak tergoyahkan. "Saya bergabung dengan MS sejak 1990, namun karir sebagai sopir saya mulai sejak 1985, setelah lulus SMA," ungkap Endang saat ditemui di Pool MS Sumedang.

Perjalanan karir Endang dimulai dari mengemudikan kendaraan kecil, hingga menaklukkan medan berat sebagai sopir truk, sebelum akhirnya menemukan kenyamanan di balik kemudi bus. Bagi Endang, profesi ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa yang mengalir dalam darahnya. "Saya hanya bisa menyetir, dan saya sangat mencintai kendaraan. Ayah saya juga seorang sopir," ujarnya.

Ia masih mengingat dengan jelas pengalaman pertamanya sebagai sopir bus. "Saat itu, saya sangat antusias. Peralihan dari mobil kecil ke bus membutuhkan adaptasi. Sebelum menjadi sopir utama, saya mengikuti pengenalan rute dari sopir senior," kenangnya. Dahulu, rute yang sering dilalui Endang adalah jalur Puncak, jauh sebelum adanya Tol Cipularang dan Tol Cileunyi.

Tantangan dan Harapan di Era Modern

Kini, dengan keberadaan tol, perjalanan menjadi lebih efisien, namun tantangan yang dihadapi Endang tidaklah berkurang. Bahaya di jalan tetap menjadi ancaman nyata. "Yang terpenting adalah fokus. Jangan membawa masalah pribadi ke jalan. Kita harus memahami medan dan selalu berdoa. Insya Allah, kita akan aman," pesan Endang.

Menempuh perjalanan belasan jam dengan waktu istirahat yang terbatas, serta menghadapi rute rawan seperti Ciloto-Ciawi dan KM 99-88 di Tol Cipularang, menjadi tantangan tersendiri bagi Endang. "Dulu, sebelum ada tol, wilayah paling rawan adalah jalur Puncak, Ciloto hingga Ciawi. Setelah ada tol, KM 99-88 Cipularang menjadi titik rawan. Untuk menghadapi jalur tersebut, selain hafal medan, kita harus benar-benar fokus," jelasnya.

Keluarga menjadi sumber kekuatan bagi Endang dalam menghadapi berbagai rintangan di jalan. "Saya memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Yang bungsu masih duduk di bangku SMK. Demi mereka, saya terus berjuang," tuturnya.

Meski jarang bertemu keluarga, komunikasi tetap menjadi prioritas. "Walaupun tidak bisa bertemu secara langsung, teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung melalui video call. Dulu, kita harus pergi ke wartel. Yang penting, komunikasi tetap lancar," ungkapnya.

Endang menyadari bahwa waktu bersama keluarga adalah kemewahan, namun ia selalu berusaha menyisihkan waktu untuk mereka di sela-sela perjalanan panjangnya. "Anak-anak saya bangga, tapi kadang juga kasihan melihat bapaknya hanya seorang sopir," ujarnya.

Endang tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai sopir. Bukan karena malu, melainkan karena ia menyadari betapa sulitnya profesi ini di era modern. "Moda transportasi bus saat ini semakin ditinggalkan penumpang, sehingga pekerjaan semakin jarang. Jadi, kalau bisa, jangan menjadi sopir. Karena sekarang menjadi sopir bus semakin sulit," katanya.

Menyerukan Penertiban Travel Ilegal dan Dukungan Pemerintah

Endang mengungkapkan bahwa penurunan jumlah penumpang bus disebabkan oleh maraknya travel, baik legal maupun ilegal. "Bukan hanya travel legal, saat ini banyak travel ilegal yang dibiarkan beroperasi, sehingga penumpang bus berkurang drastis," keluhnya.

Ia berharap pemerintah dapat bertindak tegas dalam mengatur regulasi pembatasan travel dan menindak travel-travel ilegal. "Di masa sulit seperti sekarang ini, kami berharap ada subsidi atau dukungan dari pemerintah bagi para sopir bus," harapnya.

Meski hidup sebagai sopir bus penuh dengan tantangan, Endang tidak pernah menyesali pilihannya. "Kalau bisa memilih lagi, saya tetap ingin menjadi sopir. Saya tidak paham pekerjaan lain," tegasnya.

Di akhir wawancara, Endang menitipkan pesan kepada masyarakat dan pemerintah. "Hargailah profesi sopir. Jangan anggap remeh. Kami juga menjaga nyawa banyak orang di jalan. Dan mohon, pemerintah lebih memperhatikan kami," pintanya.

Sosok Endang adalah contoh nyata seorang sopir yang tidak hanya mengantarkan penumpang dengan selamat, tetapi juga menjadi saksi bisu sejarah, keluarga, dan ketulusan. Bus Medal Sekarwangi bukan sekadar legenda jalanan, melainkan rumah bagi para pejuang jalanan seperti Endang, yang tetap teguh mengemudi demi cinta dan keluarga.