Preman Berkedok Ormas Raup Jutaan Rupiah dari Parkir Liar di Jakarta Pusat

Aparat kepolisian berhasil membongkar praktik pemerasan berkedok organisasi masyarakat (ormas) yang meresahkan warga Jakarta Pusat. Dalam Operasi Berantas Jaya 2025, sembilan juru parkir liar, termasuk seorang pria berinisial T (45), berhasil diamankan.

Penangkapan para pelaku dilakukan di tiga lokasi berbeda. Awalnya, petugas menyisir Jalan Kebon Kacang Raya, yang merupakan area parkir di sekitar pusat perbelanjaan Thamrin City, pada Jumat (9/5/2025). Kemudian, operasi dilanjutkan pada Sabtu (10/5/2025) dan Minggu (11/5/2025) di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat.

Menurut Wakapolres Metro Jakarta Pusat, AKBP Danny Yulianto, para tersangka secara terang-terangan memaksa para pengendara untuk membayar tarif parkir yang tidak wajar. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka mematok harga hingga Rp 30.000 untuk sekali parkir. "Pengendara roda empat yang awalnya hendak membayar Rp 5.000 ditolak oleh para pelaku. Mereka memaksa membayar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000," jelas AKBP Danny saat konferensi pers di Polres Metro Jakarta Pusat, Senin (12/5/2025).

Atas tindakan mereka, para pelaku dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Mereka terancam hukuman penjara maksimal sembilan tahun.

Dalam pemeriksaan lebih lanjut, terungkap bahwa T, salah satu tersangka, mampu meraup keuntungan hingga Rp 7 juta per bulan dari hasil pemerasan tarif parkir. "Ya, sekitar Rp 6 juta sampai Rp 7 juta," ujar T saat diinterogasi mengenai pendapatannya.

T mengaku baru bergabung dengan ormas tersebut selama lima bulan terakhir. Sebelum menjadi bagian dari ormas, T bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah kelab malam di Jakarta. Namun, pekerjaan tersebut kini hanya bersifat bantuan kendali operasi (BKO).

Ketika ditanya mengenai alasannya bergabung dengan ormas, T menjawab bahwa ia ingin mencari saudara dan bersilaturahmi. "(Alasan bergabung ormas) pengin mencari saudara, bersilaturahmi. Itu saja," katanya. Meski demikian, ia tidak menampik bahwa praktik pemerasan yang dilakukannya juga didorong oleh faktor ekonomi dan kebutuhan hidup.