Antara Persuasi dan Kekerasan: Mengurai Kebijakan Publik Kontroversial Dedi Mulyadi

Dalam ranah kebijakan publik, efektivitas suatu tindakan seringkali diukur dari penerimaan dan dampaknya terhadap masyarakat. Namun, bagaimana jika kebijakan tersebut justru memicu kontroversi dan penolakan? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika menilik gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan pendekatan kebijakan yang dinilai sporadis dan kurang berbasis bukti.

Psikologi persuasi memainkan peran penting dalam bagaimana suatu kebijakan diterima atau ditolak. Derek Rucker, seorang profesor dari Kellogg School of Marketing, mengidentifikasi dua strategi utama dalam persuasi: persuasi persetujuan (consent) dan persuasi ekstrem (extremity). Persuasi persetujuan cenderung lebih disukai karena sifatnya yang heuristik, mendorong pemikiran kritis dan pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman. Sementara itu, persuasi ekstrem, meskipun bertujuan meyakinkan, seringkali menimbulkan resistensi karena sifatnya yang koersif.

Kasus kebijakan 'anak masuk barak militer' yang digagas oleh Dedi Mulyadi menjadi contoh nyata penggunaan strategi persuasi ekstrem. Alih-alih mencari solusi yang lebih partisipatif dan edukatif, kebijakan ini memilih pendekatan yang represif, memicu perdebatan dan keraguan akan efektivitasnya. Kritikan terhadap kebijakan ini tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari anggota legislatif yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Kebijakan publik yang efektif seharusnya didasarkan pada riset dan data yang akurat. Negara-negara Nordik seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia, yang dikenal dengan tingkat kriminalitas dan kemiskinan yang rendah, mengadopsi pendekatan ini dalam menangani masalah sosial. Mereka berinvestasi dalam penelitian untuk memahami akar permasalahan dan mengembangkan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Program-program seperti Safer Cities Program di Denmark, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam membantu remaja keluar dari kekerasan, telah menunjukkan hasil yang positif.

Berbeda dengan pendekatan berbasis bukti yang diterapkan di negara-negara Nordik, Dedi Mulyadi justru meragukan pentingnya riset dan kajian dalam pembuatan kebijakan. Baginya, terlalu banyak waktu dan anggaran yang dihabiskan untuk perencanaan dan kajian tanpa menghasilkan tindakan nyata. Sikap ini tercermin dalam kebijakannya yang seringkali muncul secara tiba-tiba dan kurang mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.

Padahal, evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti, telah terbukti efektif dalam menyelesaikan masalah sosial dan meningkatkan kinerja pembangunan di berbagai negara. Vivi Yulaswati dari Bappenas menekankan bahwa riset seharusnya menjadi bagian integral dari proses pembuatan kebijakan, melibatkan berbagai pihak termasuk industri yang menghadapi tantangan baru.

Lantas, bagaimana seharusnya kebijakan publik dirumuskan? Jawabannya terletak pada keseimbangan antara tindakan cepat dan pertimbangan matang. Kebijakan yang efektif harus didasarkan pada riset yang solid, melibatkan partisipasi masyarakat, dan dikomunikasikan secara persuasif. Pendekatan yang represif dan sporadis, meskipun mungkin memberikan solusi jangka pendek, berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Pemerintah Provinsi Jakarta, sebagai contoh, memilih pendekatan yang lebih edukatif dan partisipatif dalam mencegah kenakalan remaja. Dengan memperpanjang jam operasional taman dan perpustakaan, mereka membuka ruang bagi anak-anak muda untuk berkreasi dan berkegiatan positif. Langkah ini sejalan dengan strategi persuasi persetujuan, yang menekankan pada dialog dan partisipasi aktif masyarakat.

Keberlanjutan kebijakan publik sangat bergantung pada penerimaan dan dukungan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi para pembuat kebijakan untuk berinvestasi dalam riset, melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan mengkomunikasikan kebijakan secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, kebijakan publik tidak hanya menjadi alat untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga sarana untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Solusi berbasis strategi persuasi persetujuan, melibatkan masyarakat yang berkolaborasi dengan para penegak hukum yang memiliki integritas, dijalankan secara konsisten dan masif, bisa menjadi solusi yang lebih efektif. Perkuat aspek proaktif di kalangan remaja beserta keluarganya dengan menyediakan saluran laporan yang mudah, murah, dan responsif, 24 jam, tujuh hari. Misalnya, “Lapor Kegiatan Gangster/Ormas/Kerumunan Meresahkan” atau “Layanan Tarik Diri atau Teman Keluar Gangster oleh Dinas Sosial x KPAI.” Para pembuat kebijakan harus investasi secara serius pada riset guna memahami gejala hingga akar masalah isu sosial-ekonomi-politik masyarakat. Karena, kebijakan berbasis bukti bukanlah dongeng pewayangan belaka. Pemerintah juga mesti berkomitmen serius dalam politik anggaran yang memperkuat inisiatif penegakan hukum proaktif berbasis komunitas bersama masyarakat. Semua itu dikomunikasikan secara persuasif yang meminta konsensus. Karena strategi persuasi berbasis persetujuan bisa lebih menjamin keberlanjutan kebijakan yang dijalankan. Fitrah manusia adalah mencari kebebasan. Namun, perlu ada keteraturan dalam kebebasan, terbingkai dalam kebijakan yang tidak malas, yaitu kebijakan publik berbasis bukti.