Gugatan UU TNI di MK: Sorotan terhadap Proses Legislasi yang Kontroversial
Gelombang Gugatan UU TNI Menguji Mahkamah Konstitusi
Langkah pengujian Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan tajam terhadap proses legislasi yang dinilai kontroversial dan kurang transparan. Hingga saat ini, naskah resmi UU Nomor 3 Tahun 2025 yang telah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto sejak 26 Maret 2025 belum dipublikasikan secara luas. Situasi ini memicu kekhawatiran akan praktik autocratic legalism, di mana hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan yang kurang demokratis.
Praktik autocratic legalism tercermin dalam sejumlah undang-undang yang dinilai bermasalah, seperti revisi UU KPK, UU MK, UU Kementerian Negara, UU Cipta Kerja, dan UU Minerba. Ciri khasnya adalah proses pembentukan yang tergesa-gesa, kurang partisipatif, dan sarat kepentingan elite.
Cacat Prosedur dan Substansi
UU TNI disoroti karena sejumlah alasan:
- Prosedur Pembentukan Bermasalah: Tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas dan RPJMN 2025-2029, usulan revisi berasal dari Menteri Pertahanan atas desakan surat Presiden, sehingga Komisi I memprioritaskan pembahasan tanpa diputuskan terlebih dahulu RUU tersebut sebagai RUU Prioritas dalam Rapat Paripurna.
- Proses Legislasi Tertutup: Pembahasan dilakukan secara kilat, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Bahkan, ada indikasi manipulasi partisipasi dengan melibatkan pihak-pihak yang tidak memiliki informasi lengkap.
- Pemanfaatan Kekuasaan Negara: Proses pembahasan UU dikawal ketat oleh aparat bersenjata, menghalangi masyarakat dan pers untuk menyampaikan kritik. Rapat dilakukan secara tertutup di lokasi mewah, menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi anggaran.
- Substansi yang Tidak Komprehensif: Urgensi perubahan UU TNI dipertanyakan karena terkesan hanya mengakomodasi kepentingan elite tertentu. Banyak isu mendesak lain, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU PRT, dan RUU Perampasan Aset, yang justru terabaikan.
Ancaman terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi
UU TNI dikhawatirkan dapat mengancam supremasi sipil dan demokrasi, serta melemahkan negara hukum. Salah satu masalah krusial adalah tumpang tindih yurisdiksi dalam penegakan hukum terhadap pejabat TNI yang menduduki jabatan sipil.
Alih-alih fokus pada pembenahan institusional dan penguatan TNI sebagai alat pertahanan negara, revisi UU TNI justru dinilai hanya berkutat pada penambahan slot jabatan untuk kalangan atas.
Ujian bagi Mahkamah Konstitusi
Dengan diajukannya 11 permohonan pengujian UU TNI, MK memiliki peran strategis untuk menguji undang-undang tersebut dari aspek formil dan materiil. MK diharapkan dapat bertindak progresif dalam memperkuat negara demokrasi konstitusional dan menghentikan praktik legislasi yang culas.
Putusan MK akan menjadi penentu apakah UU TNI akan dibatalkan atau direvisi. Proses hukum yang baik dan benar diharapkan dapat menghasilkan substansi hukum yang adil dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengembalikan khitah legislasi sebagai representasi rakyat dan mencegah distorsi dalam bangunan negara konstitusional. Putusan MK akan menjadi preseden penting bagi proses legislasi di Indonesia ke depannya.