Tragedi Keracunan Massal Program Makan Bergizi Gratis: Antara Statistik dan Hak Asasi Manusia
Polemik Pernyataan Presiden dan Tanggung Jawab Negara dalam Kasus Keracunan Massal MBG
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait kasus keracunan massal yang menimpa sekitar 200 anak dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai sorotan tajam. Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 5 Mei 2025, presiden menganggap bahwa jumlah korban yang hanya mencapai 0,005 persen dari total penerima program menunjukkan keberhasilan program tersebut secara statistik. Pernyataan ini memicu perdebatan sengit mengenai bagaimana negara seharusnya memandang dan menangani insiden yang melibatkan keselamatan dan kesehatan anak-anak.
Pendekatan yang menekankan pada statistik dan persentase keberhasilan mengabaikan dimensi hak asasi manusia yang fundamental. Dalam konteks HAM, setiap individu, terutama anak-anak, memiliki hak yang melekat dan tidak dapat direduksi menjadi sekadar angka. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 secara tegas menjamin hak setiap anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Konvensi Hak-Hak Anak (CRC) juga menggarisbawahi kewajiban negara untuk memastikan hak hidup dan kesehatan anak-anak.
Dalam kasus keracunan massal MBG, negara memiliki tanggung jawab yang lebih dari sekadar menyediakan makanan. Negara adalah penjamin keamanan dan kualitas makanan yang diberikan kepada anak-anak. Ketika makanan tersebut justru membahayakan kesehatan, negara dianggap gagal dalam memenuhi kewajiban positifnya untuk melindungi hak-hak anak. Logika "hanya sedikit" korban yang digunakan untuk membenarkan kebijakan adalah bentuk utilitarianisme sempit yang mengabaikan prinsip keadilan distributif yang menekankan perlindungan maksimal bagi kelompok yang paling rentan.
Tanggung Jawab Struktural dan Prinsip Non-Retrogresi dalam Hukum HAM
Kritik terhadap respons negara dalam kasus ini juga dapat dilihat melalui kerangka "moral responsibility" yang dikembangkan oleh Iris Marion Young. Young menekankan pentingnya tanggung jawab struktural dalam kebijakan publik. Ketika sistem distribusi MBG menyebabkan keracunan, tanggung jawab tidak hanya terbatas pada kontraktor atau vendor lokal, tetapi juga melibatkan negara sebagai pemegang kendali kebijakan publik.
Dari perspektif HAM internasional, respons negara terhadap kasus keracunan massal MBG tidak boleh stagnan. Prinsip non-retrogression dalam hukum hak ekonomi, sosial, dan budaya menyatakan bahwa negara tidak boleh mengurangi capaian hak yang telah diberikan. Program MBG yang seharusnya meningkatkan gizi anak-anak seharusnya tidak mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Keracunan yang terjadi merupakan indikasi regresi hak yang serius dan melanggar prinsip progresivitas pemenuhan hak-hak sosial.
Statistik tidak dapat dijadikan alasan untuk menutupi kegagalan negara. Dalam pendekatan Human Rights-Based Approach (HRBA), keberhasilan program sosial tidak hanya diukur dari capaian kuantitatif, tetapi juga dari pemenuhan prinsip partisipasi, akuntabilitas, non-diskriminasi, dan keberlanjutan. Mengabaikan 200 anak yang menjadi korban keracunan berarti melanggar prinsip non-diskriminasi terhadap kelompok kecil dan gagal menjamin akuntabilitas.
Evaluasi Program dan Komitmen terhadap Hak Asasi Manusia
Program MBG harus dievaluasi tidak hanya dari aspek distribusi logistik, tetapi juga dari efektivitas sistem pengawasan mutu, mekanisme pengaduan, serta kecepatan dan transparansi tanggapan terhadap insiden. Kegagalan mencegah satu kasus keracunan pun, apalagi dalam skala ratusan, merupakan kegagalan sistemik yang mengabaikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam layanan publik.
Dalam sistem hukum HAM, tidak ada nyawa yang boleh dianggap sebagai "kerugian kecil". Setiap nyawa anak berharga dan tidak dapat dikorbankan demi mencapai target statistik. Pernyataan presiden yang menekankan angka 0,005 persen dapat dianggap sebagai banalitas terhadap tragedi yang mereduksi moralitas publik menjadi sekadar hitung-hitungan teknokratik.
Kegagalan negara mengakui nilai intrinsik setiap nyawa anak akan merusak kredibilitas program MBG dan kepercayaan rakyat terhadap negara sebagai pelindung hak-hak dasar. Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah mengapa satu pun anak bisa menjadi korban, bukan berapa persen anak yang terkena dampak.
Penanganan tragedi ini harus menjadi momentum korektif, bukan defensif. Negara harus kembali menegaskan komitmen terhadap nilai dasar Konstitusi dan hak asasi manusia, yaitu bahwa setiap anak adalah pribadi yang utuh, bukan sekadar angka dalam laporan.
Dalam demokrasi yang sehat, empati tidak boleh dikorbankan demi efisiensi, dan keselamatan manusia tidak boleh ditawar atas nama pencapaian administratif. Satu anak yang menjadi korban sudah terlalu banyak. Tidak ada ambang batas toleransi untuk penderitaan dan tidak ada angka yang dapat membenarkan pembiaran. Jika satu nyawa anak saja hilang karena kelalaian sistemik, maka reformasi total adalah keharusan. Sebelum berbicara tentang keberhasilan program, kita harus memastikan bahwa tidak satu pun anak menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindunginya.