Panggung Politik: Ketika Gimmick Menutupi Substansi

Di era politik kontemporer, fenomena kemunculan figur-figur publik yang gemar bersuara lantang namun minim substansi semakin marak. Mereka hadir di berbagai platform, mulai dari layar televisi hingga media sosial, bahkan dalam seremoni-seremoni kekuasaan. Wajah ramah, narasi jenaka, dan janji-janji manis menjadi andalan untuk menarik perhatian.

Ironisnya, aktivitas mereka lebih menyerupai pertunjukan hiburan ketimbang debat konstruktif atau kepemimpinan yang bertanggung jawab. Mereka lebih fokus pada penampilan daripada substansi, seolah-olah politik telah bertransformasi menjadi arena unjuk diri. Tujuan utama mereka bukanlah melayani rakyat, melainkan menghibur diri sendiri dan menjaga status quo kekuasaan yang memungkinkan mereka terus eksis di panggung politik.

Politik hari ini telah bergeser dari adu gagasan menjadi panggung sandiwara, di mana keberanian mengambil risiko demi kebenaran digantikan oleh keberanian melakukan hal-hal absurd demi popularitas. Topeng menjadi aksesori wajib bagi siapa saja yang ingin mendapatkan tempat di panggung ini.

Dalam tradisi teater klasik, badut sering kali merepresentasikan kekacauan yang ditoleransi. Kehadirannya bertujuan untuk menghibur, meskipun kadang kala memicu rasa malu. Badut dapat digunakan untuk menyindir kekuasaan, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat oleh kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks politik saat ini, badut tidak hanya menyindir, tetapi juga mengalihkan perhatian dari isu-isu krusial seperti korupsi, kebijakan yang tidak masuk akal, dan penderitaan rakyat yang tersembunyi di balik statistik.

Kita sering menyaksikan politisi yang lebih sibuk menciptakan gimmick daripada merumuskan kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat. Mereka lebih tertarik menciptakan kehebohan daripada menyampaikan kebenaran. Mereka mahir dalam memainkan gestur lucu, tetapi enggan untuk bersikap jujur dan transparan.

Paradoksnya, para politisi ini dapat berseteru di ruang sidang, tetapi berpelukan di lobi hotel. Mereka dapat berteriak di depan media, tetapi bungkam saat membahas anggaran. Dalam lingkungan politik seperti ini, badut tidak lagi berfungsi sebagai pemecah kebekuan, melainkan justru membekukan kesadaran.

Layaknya sirkus, panggung politik menyajikan lakon-lakon lama dengan kemasan yang diperbarui. Janji-janji usang disampaikan dengan istilah-istilah baru. Substansinya tetap sama: menunda perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat.

Para badut politik berperan sebagai pengalih perhatian, sehingga masyarakat lupa bahwa sistem yang ada tidak berpihak pada mereka. Mereka menciptakan sensasi agar publik tidak lagi mencari esensi. Mereka menyerang lawan dengan pantun dan plesetan, bukan dengan argumen yang kuat dan data yang akurat. Mereka membuat kita tertawa, padahal seharusnya kita marah dan menuntut pertanggungjawaban.

Namun, di tengah tekanan hidup yang berat, hiburan memang dapat memberikan ketenangan. Dalam demokrasi yang kehilangan arah, para badut politik ini justru tampil sebagai "pahlawan". Mereka mengisi kekosongan makna dengan atraksi yang memukau. Mereka menjadi "penyelamat" dari kejenuhan, meskipun tidak mampu menyelesaikan persoalan yang mendera masyarakat.

Setiap zaman memiliki tokohnya masing-masing. Di era ini, tampaknya kita lebih gemar menciptakan karakter-karakter yang mampu memancing emosi: marah, lucu, nyinyir, atau dramatis. Dalam dunia seperti itu, kualitas pribadi diukur dari jumlah views di media sosial, bukan dari visi yang mendalam dan kebijaksanaan yang teruji.

Politik, yang dulunya dianggap sebagai ranah kebajikan dan pertimbangan rasional, kini telah menjadi panggung narasi-narasi dangkal. Publik dipaksa untuk percaya bahwa menyanyi di tengah bencana adalah bentuk empati, bahwa menari saat kampanye adalah wujud kedekatan, dan bahwa memeluk rakyat untuk difoto adalah manifestasi cinta.

Para badut politik sangat ahli dalam membungkus absurditas menjadi atraksi yang menarik perhatian. Mereka tidak buta terhadap realitas yang ada. Mereka tahu bahwa dalam demokrasi yang superfisial, yang dibutuhkan bukanlah perubahan yang substansial, melainkan persepsi tentang perubahan. Oleh karena itu, mereka hadir bukan untuk memperbaiki sistem yang rusak, melainkan untuk menenangkan kegelisahan masyarakat. Mereka tidak bertujuan untuk menyadarkan, melainkan untuk membuat kita melupakan permasalahan yang sebenarnya.

Bahaya

Tentu saja, tidak semua hal yang lucu itu buruk. Humor pernah menjadi alat perlawanan yang efektif, cara rakyat menertawakan kekuasaan yang otoriter. Namun, ketika kekuasaan mulai ikut tertawa, kita patut waspada. Mungkin bukan lagi rakyat yang menertawakan kekuasaan, melainkan kekuasaan yang sedang menertawakan rakyat.

Inilah titik di mana humor berubah menjadi kabut yang menyesatkan. Ketika ironi berubah menjadi strategi yang licik. Ketika para badut tidak lagi mengganggu penguasa, melainkan justru dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan status quo.

Para badut politik tidak lagi berdiri di luar sistem. Mereka adalah bagian integral dari sistem itu sendiri. Mereka hadir di parlemen, di partai politik, dan di lembaga-lembaga negara. Mereka bisa menjadi komisaris, menteri, bahkan calon pemimpin tertinggi. Masyarakat, yang sudah lelah dan sinis, justru menyambut mereka dengan tangan terbuka karena siapa lagi yang bisa dipercaya selain mereka yang paling menghibur?

Di masa lalu, politik bukanlah panggung komedi. Ia adalah ruang keseriusan. Soekarno mampu berorasi selama berjam-jam bukan karena ia lucu, melainkan karena ia mampu membangkitkan imajinasi bangsa. Mohammad Hatta menulis dengan gaya yang dingin dan analitis karena ia percaya bahwa politik bukan hanya soal gairah sesaat, melainkan tanggung jawab jangka panjang. Mohammad Natsir menyusun argumennya seperti menyusun doa—rapi, jernih, dan tanpa kegaduhan.

Namun, saat ini, bahkan pidato kenegaraan pun dapat diubah menjadi pertunjukan hiburan. Bahkan debat publik dapat dipotong untuk iklan. Bahkan sidang pengadilan dapat menjadi konten viral. Kita menontonnya seperti menonton serial Netflix, menunggu cliffhanger dan plot twist, tetapi tidak lagi peduli siapa yang menulis naskahnya.

Oleh karena itu, pertanyaan yang mendasar adalah: bagaimana kita dapat kembali bersikap serius jika seluruh panggung politik didominasi oleh badut? Bagaimana kita dapat memperbaiki sistem yang rusak jika perhatian kita terus-menerus dikuras oleh tingkah laku mereka yang menggelikan? Bagaimana kita dapat berharap pada pemimpin sejati jika kita memilih berdasarkan siapa yang paling menghibur?

Demokrasi bukan hanya soal tertawa dan bersenang-senang. Ia adalah tentang berpikir bersama, merumuskan solusi bersama, dan membangun masa depan bersama. Ia adalah tentang menyusun masa depan, bukan menjual masa lalu dalam bentuk meme.

Jika kita terus memilih berdasarkan sensasi dan hiburan semata, maka yang kita undang ke tampuk kekuasaan bukanlah negarawan yang bijaksana, melainkan pelawak yang kehilangan kritik. Kita membutuhkan tawa, tetapi tawa yang sadar dan reflektif. Kita membutuhkan hiburan, tetapi bukan hiburan yang membius dan melenakan. Kita membutuhkan pemimpin yang bisa tertawa, tetapi tidak menjadikan kekuasaan sebagai lelucon.

Badut tidak harus diusir dari panggung politik. Namun, panggung demokrasi tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Karena ketika semuanya menjadi panggung hiburan, maka yang lenyap adalah keadilan. Yang tertinggal hanyalah dekorasi yang indah namun kosong. Dan rakyat, sekali lagi, dijadikan penonton yang tidak pernah diajak berbicara secara serius.

Politik memang tidak harus kaku dan membosankan, tetapi ia tidak boleh kehilangan arah dan tujuan yang jelas. Karena jika semuanya hanya untuk tertawa, kita tidak akan pernah punya waktu untuk bertanya: mengapa kita masih menderita, sementara para badut itu terus tertawa? Mengapa ketidakadilan terus merajalela, sementara para penghibur itu terus berpesta?