Gelombang PHK Terus Menghantui: Investasi Mengalir, Pekerja Kehilangan Pekerjaan

Gelombang PHK Masih Menjadi Momok Pekerja Indonesia

Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih menjadi isu krusial di Indonesia. Data terbaru dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tren PHK belum mereda. Sejak awal tahun hingga Maret 2025, tercatat 73.992 pekerja terpaksa berhenti menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan akibat PHK.

Jumlah ini menambah panjang daftar PHK yang terjadi sepanjang tahun 2024, di mana 257.471 peserta BPJS Ketenagakerjaan kehilangan pekerjaan. Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja dan pengamat ekonomi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan telah memberikan perhatian khusus terhadap isu ini. Menteri Ketenagakerjaan juga menyadari adanya peningkatan angka PHK yang perlu diwaspadai.

"Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan tren kenaikan PHK. Bapak Menteri juga menyampaikan bahwa ini menjadi perhatian karena ada peningkatan," ujar Shinta dalam sebuah acara di Jakarta Selatan.

Investasi Masuk, Pekerjaan Baru Belum Cukup

Shinta menjelaskan bahwa investasi baru memang menciptakan lapangan kerja baru. Namun, jumlahnya belum mampu mengimbangi jumlah PHK yang terjadi. Indonesia perlu menciptakan 3-4 juta pekerjaan baru setiap tahunnya untuk mengatasi masalah pengangguran dan PHK.

Oleh karena itu, Apindo menekankan perlunya revitalisasi industri padat karya. Industri padat karya dinilai mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan membantu mengurangi dampak PHK.

"Walaupun ada pekerjaan baru dari investasi yang masuk, ini tidak cukup untuk mengatasi kondisi yang ada. Kenaikan PHK sangat signifikan dan tidak berhenti di sini," tegas Shinta.

Alasan Perusahaan Melakukan PHK

Apindo melakukan survei terhadap 357 perusahaan anggotanya pada Maret 2025 untuk mengetahui penyebab utama PHK. Hasil survei menunjukkan lima alasan utama perusahaan melakukan PHK:

  • Penurunan Permintaan: 69,4% perusahaan menyatakan penurunan permintaan sebagai alasan utama PHK.
  • Kenaikan Biaya Produksi: 43,4% perusahaan melakukan PHK karena kenaikan biaya produksi.
  • Perubahan Regulasi Ketenagakerjaan (Upah Minimum): 33,2% perusahaan melakukan PHK karena perubahan regulasi upah minimum.
  • Tekanan Produk Impor: 21,4% perusahaan melakukan PHK karena tekanan produk impor.
  • Faktor Teknologi/Otomasi: 20,9% perusahaan melakukan PHK karena faktor teknologi atau otomasi.

Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa 67,1% perusahaan tidak berencana melakukan investasi baru dalam satu tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi angka PHK.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama untuk mencari solusi komprehensif dalam mengatasi masalah PHK. Revitalisasi industri padat karya, peningkatan daya saing produk lokal, dan penciptaan iklim investasi yang kondusif menjadi kunci untuk mengurangi dampak PHK dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak.