Polemik GRIB Jaya di Bali: Sorotan pada Afiliasi Politik dan Potensi Disrupsi Sosial
Penolakan Ormas GRIB Jaya di Bali: Afiliasi Politik dan Kekhawatiran Disrupsi Sosial Mencuat
Kehadiran organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya di Bali memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Sorotan publik kini tertuju pada kedekatan Ketua Umum DPP GRIB Jaya, Hercules Rosario Marshal, dengan tokoh politik nasional, yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi gangguan terhadap kohesi sosial di Pulau Dewata.
Sosiolog dari Universitas Udayana, Gede Kamajaya, menyoroti bahwa ormas yang memiliki hubungan dekat dengan elite politik berpotensi menjadi kekuatan politik yang rentan dimobilisasi. Ia menekankan bahwa afiliasi ormas dengan kekuasaan dapat mengganggu harmoni sosial di tingkat daerah. Potensi mobilisasi massa dan penggunaan sumber daya yang tidak tepat dapat memicu fanatisme berlebihan dan ketegangan di masyarakat.
Isu ini mencuat setelah beredarnya foto spanduk GRIB Jaya yang menampilkan Prabowo Subianto sebagai Ketua Dewan Pembina, meskipun Prabowo diketahui telah mengundurkan diri dari posisi tersebut sejak tahun 2022. Kamajaya menjelaskan bahwa afiliasi dengan partai politik adalah hal yang wajar dalam demokrasi, namun perlu diwaspadai potensi konflik akibat penyalahgunaan isu identitas atau pengaruh berlebihan dari kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan.
Untuk mencegah konflik terbuka, Kamajaya menekankan pentingnya keberadaan mekanisme sosial yang dapat meredam ketegangan. Mekanisme ini dapat berupa institusi sosial seperti forum musyawarah adat, lembaga mediasi, atau tindakan kolektif seperti dialog lintas kelompok dan kanal ekspresi sosial yang damai.
Resistensi Publik dan Persepsi Negatif
Kamajaya menjelaskan bahwa penolakan terhadap GRIB Jaya di Bali berakar pada persepsi negatif yang telah lama melekat pada ormas tersebut. Meskipun pembentukan ormas dijamin oleh undang-undang, GRIB Jaya seringkali diidentikkan dengan aksi premanisme.
Konteks lokal Bali, yang saat ini sedang berupaya memperbaiki citra ormas dan mengedepankan pengamanan adat melalui peran pecalang, juga menjadi faktor penting dalam penolakan ini. Pendekatan berbasis adat dinilai lebih sesuai dengan karakter masyarakat Bali yang mengutamakan harmoni dan kedamaian.
Kamajaya menekankan bahwa jika GRIB Jaya ingin diterima oleh masyarakat Bali, ormas tersebut harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membangun citra positif yang jauh dari kekerasan. Publik akan menilai ormas ini berdasarkan tindakan dan kontribusinya di masyarakat.
Penolakan Gubernur Bali
Gubernur Bali, Wayan Koster, secara tegas menolak kehadiran GRIB Jaya di Bali. Ia menyatakan bahwa ormas yang dipimpin oleh Hercules tersebut belum terdaftar secara resmi di Bali. Koster menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan ormas yang berkedok menjaga keamanan dengan tindakan premanisme, kekerasan, dan intimidasi yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.
Pemerintah Provinsi Bali tidak akan menerima pendaftaran GRIB Jaya di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Bali. Koster menjelaskan bahwa keamanan dan ketertiban di Bali sudah cukup ditangani oleh Polri dan TNI, serta Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipanduberadat) dan Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda) yang melibatkan pecalang, Linmas, Bhabinkamtibmas, dan Babinsa.