Bangkit dari Trauma: Kisah Penyintas Bom Surabaya dan Bali Menemukan Kekuatan dalam Kehidupan
Tujuh tahun berlalu sejak tragedi bom Surabaya, namun luka fisik dan trauma masih membekas dalam diri Fenny Suryawati (41). Ledakan bom yang terjadi di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), tempatnya beribadah, pada Minggu pagi, 13 Mei 2018, telah mengubah hidupnya selamanya. Fenny, bersama suami dan anaknya, menjadi korban dalam aksi terorisme yang dilakukan oleh sebuah keluarga.
Luka bakar yang menghiasi tangan, leher, wajah, dan hampir seluruh tubuhnya menjadi pengingat abadi akan peristiwa mengerikan itu. "Kita jadi jelek, kalau melihat tangan kita, kita jadi inget terus," ungkap Fenny, menggambarkan betapa sulitnya melupakan kejadian tersebut. Trauma mendalam menghantuinya, diwarnai isak tangis, kebingungan, ketakutan, dan kehampaan. Namun, sebagai seorang ibu, Fenny menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Ia memiliki tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Dengan tekad yang kuat, Fenny mulai menata kembali kehidupannya. Ia bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan di Surabaya, berusaha berdamai dengan keadaan dan mengubah rasa marah menjadi kedamaian. "Kita enggak bisa mengubah hidup, harus move on, harus berubah," ujarnya.
Kisah serupa juga dialami oleh Chusnul Chotimah (55), penyintas bom Bali 1 yang terjadi pada tahun 2002. Luka bakar di sekujur tubuhnya menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. "Kita cacat luka begini, enggak akan lupa seumur hidup," kata Chusnul. Dukungan dari sesama penyintas menjadi sumber kekuatan baginya. Pelukan dan pengertian dari mereka meyakinkan Chusnul bahwa ia tidak sendirian.
Chusnul kini mencari nafkah dengan berjualan sayur keliling di Sidoarjo. Meski tak mudah memaafkan para pelaku, ia berusaha untuk tidak terperangkap dalam trauma. "Memaafkan Napiter memang harus bertahap. Tapi kita harus melihat ke depan itu lebih baik, bukan untuk mengingat terus, tapi kita juga harus berjalan," tuturnya.
Kisah Fenny dan Chusnul adalah bukti nyata bahwa penyintas bom dapat bangkit dari keterpurukan dan menemukan kekuatan dalam kehidupan. Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas menjadi kunci utama dalam proses pemulihan mereka.