Pendiri Lonely Planet, Tony Wheeler, Enggan Kembali ke Bali Akibat Kemacetan Parah
Tony Wheeler, sosok di balik kesuksesan Lonely Planet, baru-baru ini mengungkapkan daftar destinasi yang untuk sementara waktu tidak akan ia kunjungi. Bali, pulau yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya, termasuk dalam daftar tersebut.
Keputusan Wheeler ini ia sampaikan melalui tulisan blog pribadinya yang berjudul "I'm Not Going There Anymore". Dalam tulisannya, pria berusia 78 tahun yang memiliki kewarganegaraan Australia dan Inggris ini menjelaskan alasan-alasan pribadi dan prinsip yang mendasari pilihannya.
Selain Bali, Wheeler juga menyoroti beberapa negara lain dengan alasan yang berbeda-beda. Rusia, misalnya, menjadi target kritiknya karena keterlibatannya dalam konflik di Ukraina. Ia secara tegas menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengunjungi Rusia selama negara tersebut masih bersekutu dengan Korea Utara dan Amerika Serikat untuk menyerang Ukraina, serta selama Vladimir Putin masih melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil. Tragedi jatuhnya Malaysia Airlines MH17 pada tahun 2014, yang menewaskan ratusan penumpang tak berdosa, termasuk puluhan warga Australia, menjadi luka yang mendalam bagi Wheeler.
Arab Saudi juga masuk dalam daftar negara yang dihindari oleh Wheeler. Meskipun ia mengakui upaya negara tersebut dalam mengembangkan industri pariwisata, ia tidak dapat mengabaikan catatan hak asasi manusianya yang buruk. Kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dan laporan mengenai kekerasan terhadap pekerja migran menjadi perhatian serius baginya. Wheeler juga menyoroti kasus perdagangan ilegal cheetah ke Arab Saudi untuk dijadikan hewan peliharaan, yang menurutnya sangat tidak pantas.
Amerika Serikat, negara yang pernah menjadi tempat tinggalnya selama hampir satu dekade, juga tidak luput dari kritiknya. Kondisi politik di AS saat ini, terutama dengan potensi kembalinya Donald Trump dan sekutunya ke tampuk kekuasaan, menjadi alasan utama keengganannya untuk berkunjung.
Namun, yang paling mengejutkan adalah masuknya Bali ke dalam daftar destinasi yang tidak ingin ia kunjungi. Meskipun ia mengakui keindahan dan daya tarik Pulau Dewata, serta baru-baru ini menghadiri reuni penulis perjalanan di sana, Wheeler merasa bahwa Bali telah menjadi terlalu padat dan macet. Ia menyatakan bahwa ia tidak akan kembali ke Bali sampai masalah kemacetan yang parah dapat diatasi, kecuali jika ada alasan yang sangat mendesak.
Dengan daftar destinasi yang ia hindari, Tony Wheeler memberikan pesan yang kuat mengenai pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor etika, politik, dan lingkungan dalam memilih tempat untuk berlibur. Keputusannya ini mencerminkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan.