Permata Institute Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 di Tengah Ketidakpastian Global
Ekonom dari Permata Institute for Economic Research (PIER) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025. Semula diperkirakan mencapai 5,11 persen, kini proyeksinya diturunkan menjadi antara 4,5 hingga 5,0 persen. Revisi ini didasarkan pada data pertumbuhan kuartal I 2025 yang menunjukkan angka 4,87 persen secara tahunan (YoY), melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,02 persen. Angka ini menjadi yang terendah sejak kuartal III-2021.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa perlambatan ini dipicu oleh berbagai faktor, baik dari sisi domestik maupun global. Ketidakpastian akibat perang dagang yang berkepanjangan menjadi perhatian utama. Kondisi ini membuat perusahaan cenderung menahan diri dalam melakukan investasi dan ekspansi. Selain itu, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi juga mengalami sedikit perlambatan, menjadi 4,89 persen secara tahunan. Melemahnya daya beli terlihat pada sub-komponen makanan dan minuman, serta transportasi dan komunikasi. Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga mengalami penurunan menjadi 2,12 persen secara tahunan, terutama karena melemahnya investasi pada bangunan, struktur, mesin dan peralatan. Belanja pemerintah juga terkontraksi sebesar 1,38 persen secara tahunan setelah sebelumnya meningkat akibat aktivitas Pemilu.
Namun demikian, terdapat beberapa sektor yang menunjukkan kinerja positif. Ekspor barang dan jasa meningkat, didukung oleh kinerja ekspor nonmigas yang lebih kuat. Sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen secara tahunan, berkat lonjakan produksi tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sektor manufaktur, yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh stabil sebesar 4,55 persen, didukung oleh kuatnya permintaan ekspor di industri logam dasar. Sektor perdagangan ritel mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,03 persen berkat momentum musiman Ramadhan, serta sektor jasa juga tetap solid didukung aktivitas pariwisata berkelanjutan.
Di sisi lain, sektor pertambangan mengalami kontraksi akibat aktivitas pemeliharaan di tambang emas dan tembaga, sementara sektor konstruksi melambat signifikan karena adanya realokasi anggaran pemerintah.
Josua Pardede menekankan pentingnya respons pemerintah terhadap situasi ini. Kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan stimulus yang tepat sasaran diperlukan untuk mendorong kembali konsumsi dan investasi domestik. Ia juga menyoroti dampak perang dagang terhadap sektor-sektor tertentu. Sektor yang berorientasi ekspor dan memiliki ketergantungan tinggi pada pasar Amerika Serikat, seperti tekstil, garmen, kulit, alas kaki, elektronik, furnitur, dan produk karet, akan terkena dampak signifikan. Sebaliknya, sektor-sektor yang berorientasi pada pasar domestik, seperti jasa dan perdagangan, diyakini akan tetap menjadi motor utama pertumbuhan.
Mempertimbangkan kondisi ini, Josua Pardede membuka peluang pelonggaran moneter. Jika ketidakpastian global mereda dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menguat, Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuan (BI-Rate) hingga 50 basis poin sepanjang sisa tahun ini.