MK Setujui Penarikan Gugatan UU TNI yang Diajukan Dosen Unhan

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan penarikan kembali uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 39 Tahun 2004. Permohonan ini diajukan oleh Kolonel Sus Mhd. Halkis, seorang Guru Besar dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan).

Keputusan pengabulan penarikan gugatan ini diumumkan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung di Gedung MK pada hari Rabu, 14 Mei 2025. "Mengabulkan penarikan kembali permohonan para pemohon," tegas Suhartoyo saat membacakan putusan perkara dengan nomor 33/PUU-XXIII/2025.

Selain permohonan uji materi UU TNI, MK juga membacakan putusan terkait dua uji materi lainnya, yaitu gugatan terhadap UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nomor perkara 24/PUU-XXIII/2025, serta gugatan terhadap UU tentang Kejaksaan dengan nomor perkara 26/PUU-XXIII/2025. Dalam kesempatan tersebut, Suhartoyo menyatakan bahwa para pemohon dalam perkara-perkara tersebut tidak dapat mengajukan kembali permohonan yang sama.

Sebelumnya, Halkis telah menyampaikan permohonan pencabutan uji materi dalam sidang yang diadakan pada Jumat, 25 Mei 2025. Alasan pencabutan tersebut adalah karena telah terjadi lost object setelah UU TNI yang baru disahkan. UU TNI yang semula digugat oleh Halkis adalah UU Nomor 36 Tahun 2004. Namun, pembentuk undang-undang telah melakukan revisi dan menerbitkan UU terkait dengan nomor 3 Tahun 2025. "Betul Pak Hakim, kami telah meminta bantuan kepada kuasa kami untuk mencabut permohonan kami karena telah terjadi lost object," jelas Halkis.

Sebelumnya, Halkis mengajukan uji materi terhadap UU TNI yang lama karena menilai bahwa undang-undang tersebut mengekang hak-hak prajurit sebagai warga negara. Menurutnya, UU TNI tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi dan membatasi hak-hak prajurit sebagai warga negara. Salah satu poin yang dipersoalkan oleh Halkis adalah definisi Pasal 2 huruf d UU TNI. Ia berpendapat bahwa definisi tersebut tidak tepat secara logika karena menggunakan pendekatan negatif dan tidak memberikan penjelasan yang positif mengenai definisi tentara profesional. Definisi tersebut hanya menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer.

Pasal 2 huruf d UU TNI mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.

Menurut Halkis, seorang tentara profesional seharusnya dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik. Selain itu, Halkis juga menyoroti Pasal 39 Ayat (3) UU TNI yang melarang prajurit untuk berbisnis. Ia berpendapat bahwa aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.