MK Tolak Gugatan Pembatasan Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang mengatur mengenai masa jabatan ketua umum partai politik. Keputusan ini dibacakan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (14/5/2025).
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon terkait dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak dapat diterima. Pasal tersebut mengatur tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selain itu, MK juga menolak permohonan pemohon yang berkaitan dengan sistem Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislatif, yang meminta agar PAW dilakukan melalui pemilihan ulang, bukan melalui penunjukan oleh partai politik.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki legal standing dalam permohonan batas masa jabatan ketua umum partai. Pemohon 1 dan Pemohon 2 adalah dosen dan mahasiswa, yang tidak mewakili partai politik, bukan pengurus partai politik, atau anggota partai politik tertentu. Oleh karena itu, Mahkamah menilai pemohon 1 dan 2 tidak memenuhi kedudukan hukum untuk melakukan pengujian Pasal 23 ayat 1 UU 2/2011.
Enny juga menjelaskan bahwa dalil gugatan PAW tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan. Pemilihan kembali sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon secara teknis tidak mungkin untuk diwujudkan. Hal ini disebabkan karena dalam proses pemungutan suara yang tertutup, tidak dapat diketahui siapa memilih siapa.
Gugatan ini diajukan oleh dosen hukum tata negara Universitas Udayana, Edward Thomas Lamury, yang meminta adanya pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik. Edward berpendapat bahwa tidak adanya batas masa jabatan pimpinan partai politik menyebabkan kerusakan sistem demokrasi internal dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anggota partai politik. Selain itu, Edward juga menilai bahwa tidak adanya masa jabatan pimpinan partai politik juga menciptakan tidak adanya kesempatan bagi anggota partai politik untuk menjadi ketua umum.
Secara lebih rinci, Edward Lamury berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik akan menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat di internal partai. Dengan adanya batasan waktu, anggota partai politik lain akan memiliki kesempatan untuk menduduki posisi tersebut, sehingga mengurangi potensi terjadinya praktik-praktik yang tidak sehat, seperti korupsi dan nepotisme.
Selain itu, pembatasan masa jabatan juga akan mendorong regenerasi kepemimpinan di partai politik. Dengan adanya pemimpin baru, partai politik diharapkan dapat lebih adaptif terhadap perubahan zaman dan mampu menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul.
Namun demikian, MK berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik merupakan ranah internal partai politik itu sendiri. MK tidak memiliki kewenangan untuk mengatur hal tersebut. Keputusan ini sekaligus menegaskan bahwa setiap partai politik memiliki otonomi untuk mengatur mekanisme internalnya, termasuk dalam hal pemilihan dan penetapan ketua umum.