Pengacara Terdakwa Pembunuhan Libatkan Pensiunan Pejabat MA untuk Pengaruhi Hakim
Sidang kasus dugaan suap yang melibatkan pengacara terdakwa pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur, mengungkap fakta baru. Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur, mengakui meminta bantuan Zarof Ricar, mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (MA), untuk mengurus perkara kliennya. Alasan di balik permintaan ini adalah kedekatan Zarof dengan banyak hakim.
Lisa Rachmat mengungkapkan hal tersebut saat menjadi saksi mahkota dalam sidang yang menghadirkan Zarof Ricar dan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Menurut Lisa, pengalamannya setelah pensiun dari Litbang membuat Zarof memiliki jaringan luas dengan para hakim.
Lisa menjelaskan bahwa ia menghubungi Zarof setelah yang bersangkutan pensiun dari MA. Ia mendapatkan kontak Zarof dari seorang staf di lembaga peradilan. Selanjutnya, Lisa meminta Zarof untuk menjembatani komunikasinya dengan Kepala Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, tempat Ronald Tannur diadili pada tingkat pertama. Selain itu, ia juga berharap Zarof dapat membantu "mengondisikan" majelis kasasi yang menyidangkan perkara Ronald Tannur.
"Saya hanya bertanya apakah bisa, dan beliau selalu menjawab tidak langsung bisa, 'saya bantu dulu, saya tanya dulu'," ungkap Lisa di persidangan.
Dalam kasus ini, Lisa Rachmat didakwa menyuap tiga hakim PN Surabaya yang menangani kasus pembunuhan Ronald Tannur dengan total Rp 4,6 miliar. Dana tersebut diduga berasal dari Meirizka Widjaja, ibu Ronald Tannur. Tujuan dari suap ini adalah agar majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) bagi Ronald Tannur dari dakwaan jaksa. Imbasnya, Ronald Tannur sempat bebas dari hukuman.
Selain itu, Lisa juga didakwa melakukan pemufakatan jahat dalam upaya menyuap ketua majelis kasasi MA, Soesilo, yang mengadili perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi. Dana yang disiapkan untuk majelis kasasi mencapai Rp 5 miliar, sementara Rp 1 miliar dialokasikan untuk Zarof Ricar.
Kasus ini menyoroti dugaan praktik percaloan perkara dan upaya mempengaruhi hakim dalam sistem peradilan. Keterlibatan mantan pejabat MA semakin memperburuk citra lembaga peradilan dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas proses hukum yang berjalan.