Tragedi Ledakan Amunisi di Garut: Desakan Investigasi Independen dan Transparan Menguat
Tragedi Ledakan Amunisi di Garut: Desakan Investigasi Independen dan Transparan Menguat
Serangkaian ledakan yang mengguncang Desa Sagara, Garut, Jawa Barat, memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk tidak menganggap enteng jatuhnya korban jiwa dalam insiden yang melibatkan ledakan amunisi tersebut. Ardi Manto, Direktur Imparsial yang mewakili koalisi, menekankan pentingnya investigasi yang independen, imparsial, dan transparan untuk mengungkap penyebab dan pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini.
"Negara tidak boleh meremehkan kematian akibat kelalaian implementasi kebijakan yang berisiko tinggi," tegas Ardi, menyoroti potensi adanya pelanggaran standar keamanan dalam penanganan amunisi yang kedaluwarsa. Desakan ini muncul sebagai respons atas jatuhnya sembilan korban jiwa dari kalangan sipil dalam ledakan tersebut, yang mengindikasikan bahwa insiden ini terjadi di luar zona militer yang seharusnya menjadi lokasi penanganan amunisi.
Koalisi juga menyerukan keterlibatan aktif dari Polri dan Komnas HAM dalam proses investigasi. Mereka berpendapat bahwa kedua lembaga ini memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menyelidiki kasus ini secara komprehensif, mengingat banyaknya korban sipil dan lokasi kejadian yang berada di luar wilayah militer. Selain itu, Koalisi mendesak Komisi I DPR untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) guna mengawasi dan mengevaluasi seluruh proses penanganan amunisi, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemusnahan.
Standar Keamanan Pemusnahan Amunisi
Peraturan mengenai pemusnahan amunisi di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan TNI sebenarnya telah diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Nomor: JUKLAK/04/VI/2010 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Amunisi di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Juklak ini mengatur berbagai aspek pemeliharaan amunisi, termasuk pemeriksaan, inspeksi, perbaikan, dan pemusnahan.
Dalam Juklak tersebut, pemusnahan didefinisikan sebagai kegiatan teknis untuk menghancurkan amunisi yang rusak berat, membahayakan, atau tidak dapat diperbaiki. Proses ini harus dilakukan oleh instalasi amunisi yang bekerja sama dengan tim pemusnahan yang ditunjuk. Juklak juga mengatur bahwa pemusnahan hanya dapat dilakukan terhadap amunisi kelas-IV, yaitu amunisi rusak yang akan di-slooping atau dimusnahkan.
Lebih lanjut, Juklak mengatur bahwa pemusnahan amunisi harus mendapatkan persetujuan dari pejabat berwenang, kecuali dalam kondisi mendesak yang membahayakan personel atau materiil. Pelaksanaan pemusnahan dapat dilakukan dengan pembakaran atau peledakan, dengan memperhatikan sifat-sifat dasar amunisi dan standar keamanan yang ketat.
Kronologi Ledakan
Menurut keterangan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana, ledakan di Garut terjadi saat jajaran Gudang Pusat Amunisi dan Pusat Peralatan TNI AD melakukan penyusunan detonator di salah satu lubang untuk meledakkan amunisi afkir. Saat proses penyusunan tersebut, ledakan tiba-tiba terjadi di sumur tempat amunisi akan diledakkan. Insiden ini menyebabkan 13 orang tewas, baik dari kalangan sipil maupun TNI.
Tragedi ini menjadi sorotan tajam terhadap prosedur penanganan amunisi kedaluwarsa dan mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap standar keamanan yang berlaku. Masyarakat sipil dan berbagai pihak terkait berharap agar investigasi yang transparan dan akuntabel dapat mengungkap penyebab pasti ledakan dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
- Investigasi Independen
- Standar Keamanan
- Korban Sipil