Penanganan Truk ODOL di Indonesia Terhambat Roadmap yang Belum Jelas

Masalah truk Over Dimension Overloading (ODOL) di Indonesia masih menjadi momok yang belum terpecahkan. Pakar transportasi dari Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, menekankan perlunya roadmap komprehensif yang terintegrasi dari hulu ke hilir, didukung oleh payung hukum yang kuat dan sistem kelembagaan yang solid untuk mengatasi permasalahan ini.

Menurut Suripno, penanganan ODOL bukan sekadar persoalan kendaraan yang melebihi muatan atau dimensi. Isu ini menyentuh seluruh rantai kebijakan, mulai dari revisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), pengujian KIR dan karoseri, pengawasan jembatan timbang dan Weigh in Motion (WIM), hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penegakan hukum.

"Kebijakan zero ODOL tidak bisa dirumuskan secara parsial, melainkan harus komprehensif dengan mengadopsi manajemen keselamatan," tegasnya. Ia menyarankan perlunya pembahasan lebih lanjut dengan seluruh stakeholder terkait untuk menyamakan persepsi dan merumuskan kesepakatan bersama.

Institut Transportasi & Logistik Trisakti mengusulkan tiga rumusan penting terkait kebijakan zero ODOL:

  • Pengertian Manajemen Keselamatan: Harus diadopsi dalam seluruh usaha dan pemangku kepentingan untuk meminimalkan pelanggaran ODOL.
  • Dampak Sosial dan Ekonomi: Pembahasan mendalam mengenai dampak kebijakan zero ODOL terhadap pelaku usaha dan masyarakat.
  • Badan Koordinasi: Pembentukan badan koordinasi untuk pembinaan LLAJ, termasuk ODOL.

Suripno menyoroti kurangnya tindakan konkret dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam menangani masalah ini secara holistik. Ia mencontohkan kesulitan akses yang dihadapi sopir truk menuju Pelabuhan Tanjung Priok, yang merugikan mereka dari segi waktu dan biaya operasional.

Senada dengan Suripno, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mendesak pemerintah untuk melibatkan seluruh stakeholder dalam pembahasan masalah ODOL. Ketua Bidang Perhubungan dan Logistik Apindo, Carmelita Hartoto, menyatakan bahwa keterlibatan semua pihak menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan masalah yang telah berlangsung puluhan tahun ini. Apindo sendiri telah menyiapkan roadmap yang siap dipaparkan kepada pemerintah dalam forum diskusi bersama.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Bidang Angkutan Darat dan Kereta Api, Ian Sudiana, berpendapat bahwa penerapan zero ODOL akan sulit terealisasi tanpa pembenahan infrastruktur yang signifikan. Ia menyoroti perlunya penambahan ruas jalan, peningkatan jumlah jalan nasional, peningkatan kapasitas daya dukung jalan, dan perbaikan moda transportasi alternatif.

"Jika ingin menerapkan zero ODOL secara efektif, pemerintah harus memprioritaskan perbaikan infrastruktur terlebih dahulu," ujarnya. Ia menyoroti masalah status dan fungsi jalan yang seringkali memaksa truk melewati jalan dengan status berbeda, mulai dari jalan desa hingga jalan arteri nasional. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu meningkatkan jumlah jalan nasional dan daya dukungnya.

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) juga mengamini bahwa masalah ODOL sulit diatasi tanpa roadmap yang jelas. Ketua Umum DPP Aptrindo, Gemilang Tarigan, menyoroti dampak yang meluas dari masalah ini, mulai dari pengusaha truk, pemberi jasa, sopir truk, hingga perekonomian secara keseluruhan, termasuk biaya logistik yang mahal dan inflasi.

Ia mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan daya dukung jalan atau muatan sumbu terberat (MST) di jalur-jalur logistik nasional. Gemilang mengungkapkan bahwa daya angkut kendaraan di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara lain, bahkan di ASEAN. Ia mencontohkan MST di Eropa yang mencapai 11-13 ton, sementara rata-rata di Asia Tenggara sudah mencapai 11 ton, sedangkan di Indonesia masih berkisar 8-10 ton.

Menurut Gemilang, MST yang rendah memaksa angkutan logistik menaikkan muatan melebihi kapasitas, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian, terutama masyarakat kelas bawah. Ia menekankan perlunya peningkatan MST sebelum memperketat pengawasan.