MK Batalkan Hasil Pilbup Barito Utara: Pemungutan Suara Ulang Akan Digelar
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia kini tengah menjalin koordinasi intensif dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Utara terkait pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pemilihan Bupati (Pilbup) Barito Utara.
"Berkaitan dengan kebutuhan anggaran, KPU Kalimantan Tengah bersama dengan KPU Barito Utara akan segera berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah," ungkap Anggota KPU RI, Idham Holik, dalam keterangan yang disampaikan pada Rabu (14/5/2025).
Koordinasi ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskualifikasi seluruh pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam Pilbup Barito Utara. Keputusan tersebut diambil dalam sidang perkara nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Idham Holik menjelaskan bahwa pembiayaan untuk pelaksanaan PSU akan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ia juga memastikan bahwa KPU akan berupaya agar proses pilkada ulang ini dapat berjalan sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan oleh MK, yaitu maksimal 90 hari setelah putusan dibacakan.
"KPU RI akan segera mempersiapkan kebijakan teknis sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut. Kami akan mencoba menerapkan pola yang sama seperti pada pelaksanaan PSU sebelumnya yang juga memiliki tenggat waktu 90 hari," jelasnya.
Lebih lanjut, Idham Holik menambahkan, "Kebijakan yang akan diambil akan serupa, karena perintahnya diawali dari proses pencalonan. Partai politik yang mengusulkan pasangan calon yang didiskualifikasi akan diberikan kesempatan untuk melakukan penggantian, sesuai dengan amar putusan MK."
Diskualifikasi seluruh paslon dalam Pilbup Barito Utara ini didasari oleh temuan MK yang menyatakan bahwa paslon nomor urut 1, Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo, dan paslon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya, terbukti melakukan praktik politik uang secara terstruktur dan sistematis.
Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, MK menemukan adanya praktik pembelian suara pemilih untuk memenangkan paslon nomor urut 2 dengan nilai mencapai Rp 16 juta per pemilih. Bahkan, saksi bernama Santi Parida Dewi mengaku telah menerima total uang sebesar Rp 64 juta untuk satu keluarga.
"Demikian pula pembelian suara pemilih untuk memenangkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 1 dengan nilai sampai dengan Rp 6,5 juta untuk satu pemilih dan disertai janji akan diberangkatkan umrah apabila menang, sebagaimana keterangan Saksi Edy Rakhman yang total menerima uang sebanyak Rp 19,5 juta untuk satu keluarga," ungkap Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
Praktik money politics ini terjadi dalam penyelenggaraan PSU di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru. MK menilai praktik tersebut memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perolehan suara hasil PSU masing-masing pihak.
Oleh karena itu, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan bahwa adalah tepat dan adil jika kedua pasangan calon tersebut dinyatakan telah melakukan praktik money politics yang mencederai prinsip-prinsip pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
"Secara lebih sederhana, praktik politik uang itu benar-benar telah merusak dan mendegradasi pemilihan umum yang jujur dan berintegritas," tegasnya.