Trump Raih Investasi Raksasa Saudi dan Cabut Sanksi Suriah: Langkah Kontroversial dalam Diplomasi Timur Tengah
Investasi Besar Saudi dan Kebijakan Kontroversial Trump di Timur Tengah
Kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ke Timur Tengah diwarnai kejutan signifikan. Selain mengamankan komitmen investasi dari Arab Saudi senilai fantastis 600 miliar dolar AS untuk Amerika Serikat, Trump juga mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Suriah, sebuah langkah yang memicu perdebatan.
Pencabutan sanksi terhadap Suriah, menurut Trump, dilakukan atas permintaan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Pernyataan ini, disampaikan dengan nada canda, mengindikasikan kedekatan personal antara Trump dan pemimpin de facto Saudi tersebut.
Dampak Pencabutan Sanksi bagi Suriah
Keputusan mengakhiri sanksi terhadap Suriah diharapkan dapat memberikan angin segar bagi negara yang telah dilanda perang saudara selama lebih dari satu dekade. Setelah penggulingan Presiden Bashar al-Assad oleh kelompok pemberontak yang dipimpin Ahmed al-Sharaa pada Desember lalu, Suriah berada dalam fase rekonstruksi.
Langkah Trump ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Suriah. Sebelumnya, AS telah menetapkan Suriah sebagai negara pendukung terorisme pada tahun 1979, memberlakukan embargo pada tahun 2004, dan memperketat sanksi setelah perang saudara meletus pada tahun 2011.
Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, menyambut baik langkah ini sebagai "awal baru" bagi negaranya. Bahkan, seorang pejabat Gedung Putih mengindikasikan pertemuan singkat antara Presiden Trump dan pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, di Saudi.
Trump juga mendorong pemerintah baru Suriah untuk bergabung dengan "Perjanjian Abraham" dan menjalin perdamaian dengan Israel.
Investasi Raksasa Saudi: Fokus pada Pertahanan dan Diversifikasi Ekonomi
Paket investasi senilai 600 miliar dolar AS dari Saudi mencakup belanja militer yang signifikan, mencapai hampir 142 miliar dolar AS. Gedung Putih menggambarkan kesepakatan ini sebagai "kesepakatan kerja sama pertahanan terbesar" yang pernah dibuat oleh Amerika Serikat.
Kesepakatan ini melibatkan kerjasama dengan lebih dari selusin perusahaan pertahanan AS di berbagai sektor, termasuk pertahanan udara dan rudal, angkatan udara dan luar angkasa, keamanan maritim, dan komunikasi. Meski belum jelas apakah kesepakatan tersebut mencakup jet tempur Lockheed F-35, Putra Mahkota Saudi mengisyaratkan potensi nilai keseluruhan paket investasi dapat mencapai 1 triliun dolar AS seiring dengan tercapainya perjanjian tambahan dalam beberapa bulan mendatang.
Arab Saudi merupakan salah satu pembeli utama senjata buatan AS, dan kedua negara telah menjalin aliansi strategis selama beberapa dekade. Kerajaan menyediakan minyak, sementara AS menjamin keamanan dan stabilitas dinasti al-Saud.
Trump dan bin Salman juga menandatangani kesepakatan di sektor energi, pertambangan, dan bidang lainnya. Trump berupaya memperkuat hubungan dengan Arab Saudi sebagai upaya meningkatkan kerjasama regional dengan Israel dan menyeimbangkan pengaruh Iran di kawasan.
Beberapa tokoh bisnis terkemuka dari Amerika Serikat turut hadir dalam acara tersebut, termasuk Elon Musk (CEO Tesla), Sam Altman (pionir industri kecerdasan buatan), Larry Fink (CEO BlackRock), dan Stephen Schwarzman (CEO Blackstone).
Trump juga meninjau berbagai model proyek konstruksi ambisius bernilai miliaran dolar milik kerajaan, yang merupakan bagian dari program Vision 2030 Saudi untuk mendiversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada minyak.
Program Vision 2030 mencakup proyek-proyek raksasa seperti NEOM, sebuah kota futuristik yang luasnya lima kali lipat Pulau Bali. Meskipun demikian, sektor minyak masih menyumbang sebagian besar pendapatan pemerintah Saudi.
Tantangan Perdamaian Saudi-Israel dan Agenda Trump Selanjutnya
Ketiadaan kunjungan Trump ke Israel dalam lawatan ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas kebijakan luar negeri AS terhadap negara tersebut. Trump dikabarkan masih berupaya menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata baru dalam konflik Gaza. Resolusi konflik di Gaza dianggap krusial untuk mewujudkan ambisi Trump dalam mendamaikan Israel dengan negara-negara Arab.
Trump menyatakan harapannya agar Arab Saudi segera menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, mengikuti jejak negara-negara Arab lainnya. Namun, ia mengakui bahwa keputusan tersebut berada di tangan Riyadh. Menurut berbagai sumber, penolakan Netanyahu terhadap pembentukan negara Palestina merupakan faktor utama yang menghambat normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel.
Setelah lawatan ke Arab Saudi, Trump dijadwalkan mengunjungi Qatar dan Uni Emirat Arab, dengan fokus utama pada bisnis dan investasi.