Tragedi di Tasikmalaya: Gadis 13 Tahun Jadi Korban Pemerkosaan, Dinikahi Sesudah Melahirkan Lalu Dicerai

Kisah memilukan menimpa seorang remaja putri berusia 13 tahun di Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya. Ia menjadi korban kebiadaban seorang pria dewasa yang mengakibatkan dirinya hamil dan melahirkan seorang bayi.

Ironisnya, pelaku yang diketahui berinisial U, seorang pria berusia 50 tahun yang juga tetangga korban, sempat menikahi korban sesaat setelah proses persalinan. Namun, pernikahan yang seharusnya menjadi pelindung bagi masa depan korban, justru berakhir tragis. Hanya satu jam setelah akad nikah dilangsungkan, U menceraikan korban, meninggalkan luka yang lebih dalam bagi gadis belia tersebut.

Menurut keterangan dari Kasat Reskrim Polres Tasikmalaya, AKP Ridwan Budiarta, peristiwa kelam ini terjadi sejak Agustus 2024. Tersangka U melakukan serangkaian tindakan asusila terhadap korban dengan cara membujuk rayu. Modusnya adalah dengan menawarkan pinjaman sepeda motor secara cuma-cuma. Setiap kali korban meminjam sepeda motor, pelaku meminta imbalan berupa hubungan intim. Perbuatan bejat ini terus berulang hingga akhirnya korban mengandung.

Kasus ini akhirnya terungkap setelah korban melahirkan pada tanggal 11 April 2025 di sebuah Puskesmas. Pihak keluarga korban yang merasa terpukul dan geram dengan perbuatan U, sempat meminta pertanggungjawaban pelaku dengan menikahi korban secara siri. Namun, pernikahan tersebut hanyalah sebuah formalitas yang tidak memberikan perlindungan apapun bagi korban. Satu jam kemudian, U menceraikan korban, seolah hanya ingin mendapatkan status bahwa korban pernah memiliki suami.

Merasa tidak terima dengan perlakuan U, orang tua korban akhirnya memutuskan untuk melaporkan peristiwa ini ke pihak kepolisian. Polres Tasikmalaya segera bertindak cepat dengan mengamankan tersangka U dan melakukan pemeriksaan intensif. Polisi juga mengumpulkan barang bukti berupa pakaian korban dan catatan medis dari Puskesmas.

Saat ini, tersangka U harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Ia dijerat dengan Pasal 81 dan atau Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Sementara itu, korban mendapatkan pendampingan khusus dari lembaga perlindungan anak. Pendampingan ini bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis korban yang mengalami trauma mendalam akibat peristiwa yang menimpanya. Diharapkan dengan pendampingan ini, korban dapat kembali menjalani hidupnya dengan normal dan meraih masa depan yang lebih baik.